You are hereArtikel Misi / Penyebaran Kekristenan di Jawa dan Pertemuannya dengan Islam pada Abad ke-19 (2)
Penyebaran Kekristenan di Jawa dan Pertemuannya dengan Islam pada Abad ke-19 (2)
Diringkas oleh: Yudo
William Carey, seorang tokoh misi dari Inggris, yang juga disebut sebagai "bapak misi modern" mendirikan British Missionary Society pada tahun 1792. Dalam tempo satu tahun, ia telah membuka posnya di Kalkuta, India. Dari sana, ia mengorganisasi misinya dan mengirim banyak utusan ke semua sudut Asia, termasuk Jawa. Setelah Carey berkonsultasi dengan Raffles, tibalah waktunya untuk mengirim William Robinson sebagai misionaris Baptis pertama ke Pulau Jawa. Robinson tiba di Batavia pada 1 Mei 1813. Tugas utamanya ialah menyampaikan Injil pada orang Jawa. Target utama yang diberikan oleh Carey kepada Robinson adalah ia harus menguasai Bahasa Jawa secepat mungkin agar mampu berkhotbah dalam bahasa tersebut, dan kemudian menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Jawa. Namun, ketika tiba di Batavia dan mengenali keadaan kota tersebut, Robinson menyadari bahwa tujuan awal yang telah dirancangkan di Kalkuta harus diubah. Batavia merupakan sebuah kota yang amat kompleks. Batavia merupakan kota perniagaan yang sibuk, pusat pemerintahan, dan dihuni oleh berbagai macam orang. Banyak sekali kelompok orang Kristen yang telah memulai karya misi di situ dan mereka bisa berbahasa Melayu, Portugis, maupun Belanda, namun tidak bisa berbahasa Jawa. Orang Jawa yang tinggal di Batavia, yang sebelumnya diperkirakan berjumlah besar oleh kantor pusat di Kalkuta, sebenarnya sangat sedikit. Sementara itu, ia mulai memelajari Bahasa Melayu dan Belanda secara intensif.
<
Pada tahun 1814, pusat misi Baptis di India mengirim lagi dua orang misionaris untuk membantu Robinson. Mereka adalah J. Reily dan William Milne. Pada Mei 1815, J.C. Supper, G.Bruckner, dan J. Kam, dikirim oleh London Missionary Society bekerja sama dengan Netherlands Missionary Society. Dua bulan kemudian, Thomas Trowt, seorang penginjil lain dari misi Baptis pun menyusul. Trowt langsung dikirim dari Inggris untuk bekerja di Jawa. Sejak kedatangan Robinson pada 1813 sampai akhir masa pemerintahan Inggris di Jawa pada 1816, jumlah misionaris di Jawa berjumlah 10 orang.
Sebanyak dua orang dari sepuluh misionaris tersebut hanya berada di Jawa selama waktu yang singkat: Milne segera pergi ke Cina dan Joseph Kam melanjutkan perjalanannya ke Ambon. Walaupun mereka hanya tinggal dalam waktu singkat, buah yang mereka hasilkan sangatlah mengesankan. Milne berhasil membukakan kesadaran terhadap kelompok orang Cina, yang sampai saat itu belum mendapatkan perhatian apa-apa. Juga, kehadiran Joseph Kam di Surabaya telah meletakkan sebuah fondasi yang kuat untuk jemaat Kristen di sana. Kelompok J. Emde di Surabaya tidak dapat digambarkan tanpa pengaruh Kam. Kam turut serta dalam memercepat proses penginjilan di Surabaya.
Para donatur untuk para pelopor Barat mengalami masalah dengan kepribadian orang Jawa, yang mereka gumulkan untuk mereka pahami. A. Kruyt, yang dari masa mudanya menemani ayahnya, J. Kruyt, dalam pelayanannya sebagai misionaris di Jawa Timur menyimpulkan bahwa, dalam kepribadian orang Jawa terdapat sesuatu yang tersembunyi seperti sebuah teka-teki yang telah menjadi sebuah rahasia selama berabad-abad. Karenanya, kaum misionaris sering merasa tertipu atau salah mengerti. Mereka sering mengira bahwa orang Jawa ingin menjadi percaya dan menjadi seorang Kristen, padahal dalam kenyataannya tidak. Hal yang sama dialami oleh Bruckner. Setelah 8 tahun berada di Semarang, ia merasa bahwa pekerjaannya tidak menghasilkan apa-apa, sehingga ia memasuki daerah pedalaman dan tinggal di Salatiga. Di sana, ia mendekati penduduk desa dan mereka tampaknya menerima apa yang disampaikannya. Meskipun mereka mengiyakan apa yang ia katakan, tetapi pada akhirnya Bruckner pun menyadari bahwa sikap mereka itu tidak dapat ditafsirkan sebagai penerimaan terhadap agama yang dibawanya. Pengalaman ini juga dialami oleh Robinson dan Supper di Batavia. Robinson dengan antusias menulis bahwa orang Muslim di Batavia tidak sefanatik orang Muslim yang ditemuinya di India. Namun demikian, dari orang-orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan tanpa penolakan atau penentangan itu, tak satu pun dari mereka yang ingin menjadi orang Kristen.
Di sisi lain, antusiasme mereka kandas pada kesulitan-kesulitan yang mendasar, seperti masalah pengetahuan dan penguasaan Bahasa Jawa. Robinson, penginjil pertama yang tiba di Jawa, gagal memelajari Bahasa Jawa dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa tersebut. Hal itu juga dialami oleh Thomas Trowt, yang sangat berbakat dalam bahasa dan kemampuan beradaptasi. Setelah bekerja selama 2 tahun di Semarang, di tempat dia menikmati sebuah hubungan yang baik dengan seorang pegawai Jawa, ia mampu melengkapi sepertiga bagian dari sebuah kamus Jawa-Inggris, sebelum ia mengalami nasib yang sangat mengenaskan. Trowt menderita disentri dan demam, dan selama 2 tahun ia terus menderita berbagai penyakit serius. Ia meninggal pada 25 Oktober 1816. Sebelum kematiannya, Trowt bisa berbahasa Melayu dengan lancar dan mulai menguasai Bahasa Jawa. Andai Trowt tidak meninggal terlebih dahulu, misi Baptis di Semarang mungkin telah meninggalkan sebuah peninggalan yang sangat berharga.
Dalam sebuah periode singkat tersebut, Trowt telah membuka sebuah sekolah untuk penduduk setempat dan telah mengembangkan sebuah hubungan yang sangat dekat dengan Bupati Sura Adimenggala yang sangat terbuka terhadap pendidikan Barat. Adimenggala mengirim kedua putranya, Saleh dan Shukur, untuk belajar dengan Marshman dari Serampore, dari tahun 1812 sampai 1814. Sekolah ini disponsori oleh misi Baptis. Trowt berdiskusi dengan Adimenggala, berencana untuk mendirikan sebuah sekolah, menerbitkan berbagai buku dalam Bahasa Jawa, dan mendirikan sebuah sekolah untuk orang Jawa di Semarang. Menurut Trowt, Adimenggala sangat mendukung rencananya ini.
Dalam hubungan ini, baik Trowt maupun Adimenggala mendapatkan keuntungan. Dalam diskusi-diskusi mereka, tidak hanya ketertarikan Adimenggala dalam hal pendidikan saja yang didiskusikan, namun perhatian terhadap pemikiran keagamaan Trowt juga diperhatikan. Adimenggala menyatakan kesiapannya untuk mendukung tugas-tugas misi Trowt. Ia juga menanyakan hal-hal tentang agama pada Trowt. Dua hal yang sangat penting bagi Adimenggala: Mengapa ada banyak agama di dunia? Bagaimana kita bisa menentukan bahwa suatu agama adalah yang terbaik di antara agama-agama lain yang ada? Trowt menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sebuah cara yang tidak menyerang agama yang dianut oleh Adimenggala. Ia tidak menggambarkan kesimpulan dari dialog tersebut. Trowt hanya ingin Adimenggala mengenal kekristenan dan hubungan baik dengannya akan terus berlanjut.
Berbagai macam keadaan menghalangi karya misi di Jawa agar tidak berlanjut dan tidak mencapai hasilnya yang maksimal. Supper, yang terus bekerja di Batavia sejak kedatangannya, menderita penyakit yang sama seperti yang dialami Trowt, ia meninggal pada 1816. Thomas Philips, yang menggantikan Trowt di Semarang, juga meninggal dini setelah mengalami penderitaan fisik dan mental. Sepertinya, kondisi kehidupan di negara tropis dan lingkungan sosial menghasilkan sebuah penghalang besar, yang pada akhirnya menghabiskan stamina fisik dan mental mereka. Minimnya fasilitas kesehatan, situasi politik yang tidak menentu, dan sedikitnya gaji yang diberikan oleh badan misi, tidak cukup untuk membuat mereka memiliki peluang mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai. Kebanyakan dari mereka terserang demam, malaria, tifus, dan disentri.
Kondisi keuangan Baptist Missionary Society yang baru saja didirikan membuat mereka tidak mampu menjamin keseluruhan karya yang dilaksanakan oleh para pekerjanya. Karena kesulitan keuangan, beberapa orang meninggalkan tugas mereka dan bekerja di bidang lain. Robinson sibuk melayani sebuah jemaat militer; Supper, yang juga tinggal di Batavia, lebih banyak menghabiskan waktunya melayani komunitas orang Belanda daripada menjalankan upaya penginjilan di kalangan penduduk asli; James Reily, meninggalkan posnya sebagai seorang misionaris dan mengambil pekerjaan lain.
Pada 1816, pemerintahan dikembalikan kepada Belanda dan secara bersamaan pelarangan penyebaran agama Kristen kembali diadakan. Kebijakan keagamaan Raffles yang liberal menjadi terbatas oleh kebijakan otoritas Belanda yang sangat berhati-hati. Hal ini dilakukan demi menjaga keseimbangan dalam kehidupan keagamaan, namun terutama untuk menjaga agar tidak timbul guncangan dan hal-hal yang dapat memicu perlawanan pada komunitas Islam di Jawa. Satu-satunya misionaris yang diizinkan oleh pemerintah Belanda untuk terus bekerja adalah Gottlob Bruckner. Hal ini tentu saja tidak disebabkan oleh keberhasilannya dalam menyebarkan agama di antara para penduduk Jawa di Semarang! Sebaliknya, mereka memberikan izin karena Bruckner adalah satu-satunya misionaris yang gaya bekerjanya diam-diam dan tidak menonjol.
Bruckner bekerja di Jawa selama 43 tahun, tanpa tercatat seorang pun sebagai 'buah' dari tugasnya untuk memberitakan Injil. Ia tidak membaptis siapa pun. Namun sepanjang hidupnya, dengan stamina fisik dan mental yang luar biasa, Bruckner berhasil menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa dan tulisan Jawa. Ia menyelesaikan karyanya tersebut dalam waktu yang relatif singkat, kira-kira selama 8 tahun. Walaupun ia cukup baik diterima oleh penguasa, 'buah' yang terpenting dari karyanya, yang dilakukan dengan bersemangat, sangat terhalang. Atmosfer politis di seluruh Hindia Belanda mulai menunjukkan gejala kekacauan.
Puncak kesulitan yang disebabkan oleh pemerintah Belanda selama periode ini, terutama kepada para misionaris "non-Belanda" adalah penyitaan dan pelarangan penyebaran karya monumental Bruckner: Perjanjian Baru edisi Bahasa Jawa. Bruckner telah menyelesaikan manuskrip tersebut pada 1823. Ia harus menunggu selama 5 tahun sebelum ia bisa pergi ke Serampore untuk mencetak teksnya, dan di sana, ia menunggu selama 3 tahun. Akhirnya, 3.000 kopi berhasil dicetak. Dengan sukacita, ia mengambil 2.100 kopi untuk Batavia dan memberikannya kepada Dutch Bible Society -- ia sendiri hanya menerima 300 kopi. Sebelum membagikan Alkitab, direktur Dutch Bible Society merasa perlu untuk meminta izin Gubernur Jenderal. Keputusan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal sangat mengecewakan Bruckner: "Perang baru saja berakhir; situasi yang tidak menguntungkan ini akan digunakan oleh orang untuk memberontak lagi jika kitab tersebut dibagikan di kalangan pribumi!" Terjemahan bersejarah Perjanjian Baru "untuk sementara waktu, sampai keadaan memungkinkan", disita oleh pemerintah. Sayangnya, kebanyakan dari kitab tersebut dimakan rayap ketika berada di gudang. Pada 1848, 17 tahun kemudian, sisa hasil terjemahan tersebut dibebaskan dari "penahanan".
Fase pertama kepeloporan misi Kristen di Jawa, dipimpin oleh Baptist Missionary Society telah dihalangi dan menemui kegagalan. Bahkan Bruckner, orang terakhir pada periode ini, tidak berhasil memenuhi harapan rekan-rekannya dari misi Baptis. Tidak ada seorang Jawa pun yang memilih untuk mendengar pesannya dan mengikuti jejak imannya. Namun, Bruckner telah memulai sebuah fase penting, sebuah fase yang diperlukan untuk pembentukan Gereja Kristen untuk orang Jawa: ia telah memersiapkan sebuah manuskrip suci yang akan dibaca oleh orang Jawa sebagai fondasi kehidupan kerohanian mereka. Ia telah melaksanakan sebuah tugas yang tidak dapat dilakukan oleh siapa pun juga. Orang Jawa tidak dapat melakukannya, tidak juga orang Kristen dari misi Belanda. Bruckner sendirilah yang menyelesaikan tugas ini.
NZG mengirim J. F. C. Gericke ke Jawa pada 1826. Ia merupakan orang pertama dari kalangan misi yang memiliki bakat besar dalam linguistik, dan ia mendemonstrasikan sebuah profesionalisme yang melampaui kemampuan Bruckner. Gericke menggunakan terjemahan Bruckner sebagai sumber utamanya, dalam upayanya untuk menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Jawa. Periode ketiga ini diakhiri dengan sepucuk surat dari Bruckner pada rekan-rekannya di pusat misi Baptis di Serampore, 2 bulan sebelum kematiannya pada 9 Juli 1857.
Kisah pertama sejarah agama Kristen di Jawa dimulai dengan penuh antusiasme dan berakhir dengan kekecewaan. Karya Bruckner, pada paruh awal abad ke-19 merupakan representasi pergumulan para pelopor. Paruh kedua abad ke-19 merupakan kisah kedua dalam sejarah ini. Banyak badan baru muncul dengan berbagai cara, sehingga terdapat peluang yang lebih besar untuk berhasil. Para aktor dan layarnya mungkin berganti, namun karya terjemahan Bruckner merupakan sebuah pilar dalam sejarah yang akan menjadi pendukung utama untuk masa perkembangan agama Kristen di Jawa pada periode selanjutnya. (t/Rento)
Diterjemahkan dan diringkas dari: | ||
Judul buku | : | Mission at the Crossroads |
Judul bab | : | The Spreading of Christianity in Java and Its Encounter with Islam in the 19th Century |
Penulis | : | Th. Sumartana |
Penerbit | : | PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 1994 |
Halaman | : | 10 -- 15 |
Sumber | : | e-JEMMi 07/2013 |
- Login to post comments
- 5278 reads