You are hereArtikel Misi / Konsep Misi dalam Injil dan Kisah Para Rasul 1

Konsep Misi dalam Injil dan Kisah Para Rasul 1


Rentang waktu antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Selama berabad-abad, antara nabi terakhir Perjanjian Lama dan kelahiran Yesus, posisi orang Israel dalam memegang prinsip tidaklah berubah. Prinsip pemisahan masih dipegang dengan teguh. Israel diwajibkan untuk mempertahankan keberadaan mereka di tengah-tengah bangsa lain. Meskipun demikian, kondisi riil lingkungan di mana bangsa Israel tinggal mengubah pemisahan itu dan dengan demikian siap untuk berbagai karya misi. Kita seharusnya menaruh cukup perhatian untuk fenomena ini, jika kita ingin memahami Perjanjian Baru.

Perubahan dalam lingkungan yang sedang kita bicarakan, terutama ketika bangsa Israel baru saja tiba dari penawanan di Babel. Orang Yahudi menemukan diri mereka sekali lagi berada di tanah air mereka sendiri sebagai suatu umat perjanjian. Di bawah kepemimpinan Ezra dan Nehemia, mereka memurnikan diri mereka dari berbagai hal yang bersifat berhala, dan menemukan kembali hukum sebagai sebuah tanda perkenanan Tuhan atas umat-Nya. Namun, sejumlah besar orang Yahudi tertinggal di Persia.

Menurut Ezra 2:64 dan Nehemia 7:66, hanya empat puluh dua ribu orang Yahudi yang kembali dari penawanan. Jumlah mereka yang tertinggal, tanpa diragukan lagi pastilah sangat besar. Sebuah diaspora orang Yahudi pun terjadi, sebuah kumpulan jemaat Yahudi yang tersebar. Seiring dengan penyebaran para saudagar Yahudi, diaspora ini semakin meningkat di Barat, seperti yang terjadi di Timur. Kumpulan-kumpulan jemaat Yahudi ditemukan di seluruh Asia Kecil dan Makedonia, di Aikea dan Italia, di Mesir, dan bahkan di Gaul (sekarang bagian dari Perancis).

Diaspora di Barat secara umum dianggap remeh oleh para pemimpin di Yerusalem daripada di Timur. Diaspora di Barat harus menjalani sebuah pergumulan yang lebih pahit melawan faktor-faktor yang tidak sulit diperhitungkan seperti semangat Hellenistik, dengan kecenderungannya pada spekulasi filosofis, sinkretisme, dan kosmopolitanisme. Untuk alasan inilah, diaspora di Barat berada dalam bahaya yang terus mengancam akan penyimpangan pada tradisi suci yang telah diterimanya. (dalam Kisah Para Rasul 6:1 diaspora Barat dianggap sebagai kaum yang berbicara bahasa Yunani dan menganut Hellenisme)

Diaspora menjelaskan kenyataan bahwa sebuah bagian dari bangsa Israel, dengan sukarela hidup di tengah-tengah bangsa lain, bukan sebagai orang terasing dan terkadang bahkan hidup dengan keadaan kaya raya. Orang-orang Yahudi ini secara alami menggunakan bermacam-macam pengaruh dunia Yunani, beberapa pengaruh yang dapat diringkas seperti berikut ini:

a. Penghinaan dan Kesalahpahaman

Orang Yunani tidak mengerti orang Yahudi. Beberapa di antaranya berpikir bahwa orang Yahudi menyembah bintang-bintang dan mempersembahkan korban berupa manusia; yang lain berpikir bahwa orang Yahudi belajar dari kebijaksanaan orang India; dan yang lain berpikir bahwa orang Yahudi lebih rendah daripada sekumpulan penderita kusta yang keluar dari Mesir, dan bahwa Orang Yahudi menyembah sebuah kepala keledai emas di kuil-kuil mereka.

b. Penghormatan

Ada juga bukti bahwa agama Yahudi menimbulkan sebuah kesan mendalam untuk bangsa-bangsa lain. Beberapa di antaranya kagum dengan ketaatan orang Yahudi pada hari Sabat dan banyak hal yang lain, namun monoteisme yang kuat pada orang Yahudi, iman orang Yahudi akan Tuhan yang tidak terlihat, dan tingkat moral mereka yang relatif tinggi menimbulkan rasa hormat. Sejumlah orang dari bangsa-bangsa lain secara spontan memeluk kepercayaan Yahudi, demikian juga di mana pun diaspora ada muncul sekumpulan penganut baru yang dalam hal terpenting, tidak mau disunat namun memegang teguh hukum Yahudi dan mengirim persembahan mereka ke Yerusalem.

Dalam Kisah Para Rasul, hal seperti itu disebut sebagai para penyembah Tuhan (sebomenoi, phoboumenoi, lihat Kisah Para Rasul 13:43). Orang-orang dari bangsa lain yang menyunatkan dirinya dianggap oleh rekan sebangsanya sebagai orang Yahudi. Sejarahwan Romawi, Tacitus, mengkritik para penganut baru ini karena meninggalkan tanah air dan keluarga mereka, dan membiarkan diri mereka tinggal di antara orang asing.

c. Tiadanya Karya Misi

Yang patut dicatat, penerimaan para pemeluk baru ini bukanlah hasil kegiatan misi yang disengaja. Yang ada, bagaimanapun juga, sebuah propaganda dalam bentuk tertentu. Dalam suatu waktu tertentu, kemudian terdapat sekumpulan orang Yahudi yang sangat sibuk sebagai utusan Injil (Matius 23:15). Pada awalnya, gelombang para pemeluk baru lebih sebagai akibat dari menariknya agama orang Israel. Dalam perkawinan campuran, biasanya disyaratkan pria dari kalangan bangsa-bangsa lain untuk mengizinkan dirinya disunat atau paling tidak anak-anak mereka disunat. Menurut Josephus, orang Yahudi sering berupaya untuk memancing orang Yunani datang ke kebaktian mereka dalam rangka memenangkan mereka untuk memeluk kepercayaan mereka.

d. Agama Filosofis

Pada sebuah dunia intelektual yang sudah lelah dengan mitos-mitos kuno para penyair Yunani, tidak mengejutkan bahwa agama Yahudi dihargai karena konsep kerohaniannya akan Tuhan. Orang Yahudi sendiri menggunakan secara luas penghargaan ini, dan tidak malu-malu untuk membicarakan penyembahan mereka sebagai sebuah "agama filosofis". Mereka mencoba mendemonstrasikan bahwa mereka orang-orang yang berbudaya, dan bahwa Plato dan Aristoteles berhutang budi karena ide-ide mereka yang agung. Pemikir Yahudi, Aristobulus, menulis sebuah karangan mengenai hukum yang ditujukan pada raja Ptolomeus Philometor (170-145 SM), yang sekarang hanya sedikit bagian yang berhasil diselamatkan. Salah satu dari beberapa bagian itu berpendapat bahwa Plato dan Pythagoras telah meminjam banyak pengajaran mereka dari terjemahan kuno hukum Musa. Sering ditegaskan bahwa pengajaran yang mendalam dan agung dari Perjanjian Lama, seluruhnya sesuai dengan pemikiran-pemikiran terhebat para pemikir Yunani.

e. Yahweh -- Zeus

Pemikiran seperti itu mengarah pada penyamarataan konsep filosofis Dewa Yunani dengan Yahweh, tanpa mempertimbangkan perbedaan besar di antara keduanya. Dalam sebuah surat dari Aristeas untuk Raja Ptolomeus II yang membahas penerjemahan Perjanjian Lama ke Bahasa Yunani, dinyatakan mengenai "keagungan penulis hukum tersebut dengan pemerintahan Ptolomeus; Dia adalah Zeus yang maha mengetahui dan menciptakan". Di sini Tuhan orang Israel disamakan seluruhnya dengan konsep monotheistik filosofis tentang Zeus dari dunia Helenistik. Lebih lagi, pemikir Yahudi pada masa itu merasakan adanya sebuah hubungan etis dengan para filsuf Stoic, sejak bagian-bagian terakhirnya mengkhotbahkan tentang sebuah hidup yang tenang dan penuh penyangkalan diri.

f. Septuaginta

Semua usaha tersebut sangat erat terhubung dengan penerjemahan Perjanjian Lama ke dalam Bahasa Yunani, sebuah penerjemahan Tujuh puluh (septuaginta). Septuaginta mempersiapkan jalan dengan penuh penghormatan untuk membuka mata dunia Yunani akan keindahan Perjanjian Lama, dan dengan mengadaptasi banyak konsep dan ide Perjanjian Lama pada pemikiran-pemikiran Yunani.

g. Kuatnya Daya Pikat

Suatu cara yang jauh lebih kuat tentang propaganda daripada pendekatan melalui filsafat Yunani adalah "eksklusivitas" dan "kohesivitas" komunitas orang Yahudi. Dalam sebuah studi yang berjudul "Die Jüdische Propaganda als Vorläuferin der Urchristlichen Mission", Axenfeld mengatakan, "sebagai sebuah agama filosofis, Yudaisme benar-benar menjangkau orang yang terdidik secara tertutup. Namun, sebagai sebuah perkumpulan religius dan sosial dengan sebuah cara hidup yang unik, hal itu menarik sejumlah besar orang." Dengan masuk ke komunitas Yahudi, seorang pemeluk baru dibawa ke dalam penyatuan dengan sebuah dunia perkumpulan, dan karenanya dia menikmati semua jenis keistimewaan politis dan sosial.

Yudaisme adalah sebuah agama yang dilegitimasi pada zaman kekaisaran Romawi. Seorang Yahudi menikmati banyak keuntungan sebagai warga negara. Orang-orang Yahudi yang tinggal di kota-kota memiliki semacam pemerintahan mereka sendiri, dan karenanya merupakan negara di dalam negara. Untuk taraf tertentu, mereka bahkan memiliki pengurusan hukum mereka sendiri, sehingga menjadi bagian dari komunitas seperti itu sangat diinginkan oleh banyak orang. Mulai dari orang biasa dan sekumpulan orang yang tanpa berpikir panjang, tidak bisa memikirkan sebuah agama tanpa dewa-dewi, sehingga mereka mungkin mengatakan bahwa orang Yahudi itu atheis. Namun, mereka yang masuk ke sebuah pengertian yang lebih mendalam mengenai penyembahan Yahudi, hanyalah salah satu dari banyak cara yang ada, menjadi terpengaruh karenanya.

Ketika kita mengingat kembali masa ini, sangat jelas bahwa hal itu mengambil sebuah tempat penting dalam bimbingan jalan Tuhan. Pemisahan orang Israel, isolasi yang kuat masih berlanjut. Tembok pemisah yang memisahkan orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain masih ada (Efesus 2:14). Dari titik tolak teologis, posisi orang Israel tidak berubah. Namun faktor-faktor politik dan budaya, yang terhubung erat dengan isolasi orang Israel telah jauh berubah. Israel bukan lagi sebuah daerah kecil yang terasing pada sebuah sisi dunia yang terlupakan. Israel sekarang telah menjadi sebuah provinsi dari Kekaisaran Romawi yang besar, dan dalam cara yang khusus berhubungan dengan budaya yang memerintah dunia.

Sekarang Israel memasukkan pengaruhnya dan menjadi subjek untuk pengaruh budaya yang lain. Situasi seperti itu, tanpa diragukan lagi membawa sebuah bahaya besar dan godaan yang tetap untuk Israel, sebuah perubahan yang dihadang dengan kuat dengan cara mempraktikkan hukum menurut cara-cara orang Farisi. Kerumitan yang terjadi kemudian terbukti dengan kenyataan ancaman yang semakin meluas untuk Israel. Pintu-pintu secara bertahap mulai terbuka, hampir tanpa terlihat; pemisahan penuh dan menyeluruh Israel mulai melemah. Hal itu paling terlihat dalam peninjauan kembali untuk kemudian menyadari bahwa Tuhan sedang mempersiapkan sebuah periode baru, di mana gereja-Nya akan mengajarkan Injil keselamatan dalam Kristus, dari Yerusalem untuk kemudian menuju seluruh penjuru dunia.

Rahasia Injil

Semua hal tersebut secara mendasar berubah dengan kedatangan Yesus Kristus. Siapa pun yang mempelajari kehidupan Yesus yang bertentangan dengan dengan latar belakang pengharapan Perjanjian Lama akan keselamatan, segera terkena masalah-masalah besar yang dengan cepat muncul. Para Nabi Perjanjian Lama, tanpa ragu menyatakan dalam berbagai kesempatan mengenai seorang Mesias yang menderita (sebagai contoh Yesaya 53), namun sebagai sebuah kebiasaan, datangnya Mesias digambarkan oleh mereka sebagai sebuah transformasi radikal pemerintahan dunia, yang ditandai pada setiap sisinya dengan berubahnya konsep pikir mengenai keselamatan. Sekolah-sekolah teologi pada masa Yesus begitu menekankan aspek tertentu dari nubuatan tentang Mesias, sehingga pada sebuah pertimbangan yang lebih mendalam, mereka salah menggambarkan gambaran Perjanjian Lama. Kondisi seperti itulah yang menegakkan dasar rahasia, yang ditampilkan dalam Injil.

Dari masa pertama pengajaran Yesus, nampaknya seolah-olah Yesus mengharapkan pendekatan yang sesegera mungkin mengenai keselamatan besar. Markus memberi tahu kita bahwa beban khotbah Yesus adalah "Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat" (Markus 1:15). Maksud "waktu" yang "telah genap" hanya dapat merujuk pada masa terdahulu pada datangnya keselamatan untuk seluruh dunia. Dalam Matius 10 Yesus berkata pada murid-muridNya, "Apabila mereka menganiaya kamu dalam kota yang satu, larilah ke kota yang lain; karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sebelum kamu selesai mengunjungi kota-kota Israel, Anak Manusia sudah datang" (Matius 10:23).

Kesan yang sama diberikan di Matius 16:28: "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Anak Manusia datang sebagai Raja dalam Kerajaan-Nya." Dalam Markus, kata-kata yang terakhir berbunyi "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat bahwa Kerajaan Allah telah datang dengan kuasa" (Markus 9:1); bandingkan juga Lukas 9:27. Dalam semua bagian ini, seolah-olah pada bagian paling awal dari pelayanan-Nya, Yesus mengharapkan datangnya keselamatan dengan cepat. Kemudian Dia tidak lagi membicarakan hal ini dengan kata-kata yang keras, namun lebih sering dengan merujuk pada penderitaan dan kematian-Nya yang semakin mendekat. (t\Rinto)

Diterjemahkan dari:

Judul buku : An Introduction to the Science of Mission
Judul asli artikel : The Concept of Mission in The Gospel and the Acts of the Apostles
Penulis : J. H. Bavinck
Penerbit : Presbyterian and Reformed Publishing Co., Phillipsburg, New Jersey
Halaman : 25 -- 30

e-JEMMi 06/2012