You are hereArtikel Misi / Doa : Melawan Status Quo
Doa : Melawan Status Quo
Jika Anda memiliki kesadaran sosial, Anda akan terkejut mendengar cerita yang akan saya kemukakan. Seorang wanita berkulit hitam, tinggal di kawasan Chicago Selatan, mendesak agar apartemennya dipasangi pemanas karena musim dingin yang menusuk. Terlepas dari hukum di kota tersebut, pemilik tanahnya yang kejam menolak. Wanita itu seorang janda yang buta akan sistem hukum, namun ia membawa kasus itu ke pengadilan. Keadilan harus ditegakkan, katanya. Sayangnya, hakim yang menangani kasusnya adalah seorang ateis yang fanatik. Prinsip yang dipegangnya adalah "orang kulit hitam hanya boleh diam". Bagi janda tersebut, peluang untuk mendapatkan keadilan sangat sedikit. Dan peluang itu semakin sedikit ketika ia menyadari betapa kurangnya hal yang ia perlukan untuk mendapat keputusan yang diinginkan -- misalnya, uang suap yang memadai. Bagaimanapun juga, dia tetap bertahan.
Pada mulanya, hakim tidak mengacuhkannya sama sekali. Namun, ia mulai memerhatikan janda itu. Orang kulit hitam lagi, pikirnya, yang cukup bodoh karena berpikir bisa mendapatkan keadilan. Lalu keteguhan janda itu membuatnya sadar dan menimbulkan rasa bersalah serta marah di dalam dirinya. Dengan gusar dan malu, akhirnya hakim itu mengabulkan permohonan janda tersebut dan menegakkan hukum. Inilah kemenangan besar terhadap "sistem" -- setidaknya, menjalankan hukum di pengadilannya yang telah bobrok.
Tentu saja saya tidak sepenuhnya jujur. Cerita ini tidak pernah terjadi di Chicago (sejauh yang saya ketahui) ataupun dalam "cerita" saya sendiri. Ini merupakan perumpamaan yang dikatakan Yesus (Lukas 18:1-8) untuk menggambarkan sifat doa yang berupa permohonan.
Perumpamaan yang digambarkan Yesus bukanlah antara Allah dan hakim yang jahat, namun antara janda dan pemohon. Perumpamaan ini memiliki dua aspek. Pertama, janda itu menolak untuk menerima ketidakadilan, seperti juga orang Kristen seharusnya menolak untuk menerima kejatuhan dunia ini. Kedua, bukannya merasa patah semangat, janda itu bertahan dengan kasusnya, seperti orang Kristen yang seharusnya juga bertahan.
Saya ingin menegaskan bahwa doa kita yang lemah dan tidak rutin, terutama doa berupa permohonan, sering kali ditujukan dengan cara yang salah. Ketika menghadapi kegagalan ini, kita cenderung menyalahkan diri sendiri karena tekad kita yang lemah, hasrat yang tawar, cara yang tidak efektif, dan pikiran yang tidak terfokus. Kita terus berpikir bahwa tindakan kita salah dan berpikir keras untuk mencari letak kesalahannya. Menurut saya, masalahnya terletak pada kesalahpahaman tentang sifat doa dan kita tidak akan pernah memiliki keteguhan janda tersebut sebelum pandangan kita sejelas pandangannya.
Lalu, apakah doa yang bersifat permohonan itu? Pada intinya, doa permohonan adalah perlawanan terhadap kejatuhan dunia, penolakan yang mutlak dan tanpa henti untuk menganggap normal apa yang tidak normal. Dari segi negatifnya, ini berarti penolakan akan semua rencana, maksud, dan pemikiran yang berbeda dengan yang ditetapkan Tuhan. Itulah ungkapan mengenai suatu jurang yang tak bisa dijembatani yang memisahkan kebaikan dan kejahatan, pernyataan bahwa kejahatan bukanlah variasi dari kebaikan, melainkan lawan dari kebaikan.
Atau dengan kata lain, menerima hidup "apa adanya" -- yang berarti mengakui bahwa hidup berjalan tanpa bisa dihindari -- berarti juga menyerahkan cara Kristen memandang Tuhan. Dalam kepasrahan pada sesuatu yang tidak wajar ini ada anggapan yang tersembunyi dan tak dikenal, yaitu anggapan bahwa kuasa Tuhan untuk mengubah dunia dan untuk mengalahkan kejahatan dengan kebaikan, tidak akan menjadi kenyataan.
Tidak ada yang bisa mengganggu doa permohonan (dan juga pandangan Kristen akan Tuhan) secepat penyerahan. "Sepanjang waktu", Yesus menyatakan, "kita harus berdoa" dan tidak "jemu-jemu," dan menerima seperti apa adanya (Lukas 18:1).
Keabsenan doa permohonan bila penyerahan muncul sudah lama memiliki sejarah yang menarik. Agama-agama yang menekankan pentingnya ketenangan selalu menentang doa permohonan. Aliran Stoa menegaskan bahwa doa semacam itu menunjukkan bahwa seseorang tidak mau menerima keberadaan dunia ini sebagai ungkapan kehendak Tuhan. Satunya lagi berusaha melepaskan diri dari dunia dengan mengubahnya. Hal itu, sebagaimana dikatakan oleh aliran Stoa ini, adalah buruk. Pendapat yang sama juga ditemukan dalam agama Budha. Hal serupa umumnya juga ditemukan dalam budaya sekuler kita meskipun melalui proses penalaran yang berbeda.
Sekularisme adalah sikap yang memandang dunia sebagai suatu akhir, bahwa hidup terpisah dari hubungan dengan Tuhan. Akibatnya, satu-satunya norma yang ada dalam hidup, baik makna maupun moral, adalah dunia seperti apa adanya. Kita harus setuju untuk mencari beberapa sumber lain yang bisa digunakan untuk mengatur hidup kita yang sia-sia dan penuh khayalan. Bukan hanya Tuhan, objek dari doa permohonan, yang menjadi kabur, melainkan hubungan-Nya dengan dunia pun dipandang dengan cara baru. Dan cara itu adalah cara yang tidak bertentangan dengan pandangan sekuler. Tuhan mungkin "hadir" dan "berkarya" dalam dunia, namun hal itu tidak mengubah apa pun.
Bertentangan dengan semua ini, doa permohonan hanya akan berhasil bila ada keyakinan akan dua hal. Pertama, adanya keyakinan bahwa nama Tuhan jarang sekali diagungkan, kerajaan-Nya hampir tidak nyata di bumi, dan perintah-Nya hampir tidak dijalankan. Kedua, Tuhan sendiri dapat mengubah keadaan ini. Karena itulah, doa permohonan merupakan ungkapan harapan agar hidup bisa menjadi berbeda dan seharusnya memang berbeda. Hampir mustahil untuk hidup dalam Tuhan dan melakukan pekerjaan-Nya sesuai pribadi-Nya, tanpa berdoa dengan rutin.
Itulah arti penting dari doa permohonan dalam kehidupan Yesus. Penulis Injil tidak banyak menceritakan doa-doa Yesus (misalnya, Markus 1:35; Lukas 5:16, 9:18, 11:1). Namun, suatu pola dari keadaan yang dibangkitkan lewat doa akan dapat dikenali.
Pertama, doa permohonan diawali dengan keputusan yang besar dalam hidup, misalnya ketika memilih murid-murid (Lukas 6:12); yang menjadi penjelasan mengapa Yesus memilih sekumpulan orang yang terlupakan, sombong, bodoh, dan bebal adalah karena Ia sudah berdoa sebelum memilih mereka. Yang kedua, Ia berdoa ketika dihadapkan pada tekanan, saat disibukkan dengan tuntutan banyak orang yang menyita tenaga dan perhatiannya (Matius 14:23). Yang ketiga, Ia berdoa ketika dihadapkan pada kejadian penting yang mengubahkan kehidupan-Nya, seperti pembaptisan-Nya, perubahan-Nya, dan salib-Nya (Lukas 3:21, 9:28-29). Dan yang terakhir, Ia berdoa sebelum dan selama pencobaan, yang paling jelas adalah ketika di Getsemani (Matius 9:36-45). Ketika masa pencobaan tiba dan melingkupi, perbedaan antara Yesus dan murid-murid-Nya dalam menghadapi pencobaan itu hanyalah karena Ia bertekun dalam doa, sementara murid-murid-Nya tertidur dalam kelemahan hati. Setiap kejadian ini menghadirkan pilihan kepada Tuhan kita, yaitu memakai cara, menerima pandangan, dan mengikuti pengajaran yang bukan berasal dari Tuhan. Namun, penolakan-Nya akan semua pilihan itu selalu ditandai dengan doa permohonan-Nya. Inilah cara-Nya untuk menolak hidup di dunia atau untuk menjalankan urusan Bapa-Nya dengan menggunakan cara yang tidak sesuai dengan cara Bapa-Nya. Seperti itulah perlawanan terhadap kejahatan dan kejatuhan dunia.
Doa menunjukkan bahwa Tuhan dan dunia saling berlawanan; mereka berpura-pura tidak "tidur", tidak "putus asa", dan tidak "jemu". Lantas mengapa kita jarang berdoa untuk gereja lokal kita? Benarkah karena cara kita buruk, tekad kita lemah, atau daya imajinasi kita lesu? Saya tidak percaya. Ada banyak pembahasan yang bertekad kuat dan hidup -- yang secara sebagian atau keseluruhan bisa dibenarkan -- mengenai situasi khotbah, kekosongan penyembahan, kedangkalan persekutuan, dan ketidakefektifan penginjilan. Lantas. mengapa kita tidak bertekun dalam doa? Jawabannya cukup sederhana, yaitu karena kita tidak yakin doa akan membawa perubahan. Kita cenderung menerima, walaupun dengan terpaksa, bahwa situasi tersebut memang tidak akan bisa diubah. Ini bukanlah masalah tentang praktik doa, tapi sifat doa. Lebih tepatnya, tentang sifat Tuhan dan hubungan-Nya dengan dunia.
Tidak seperti janda dalam perumpamaan di atas, kita lebih mudah berkompromi degan dunia yang tidak adil di sekitar kita -- bahkan ketika dunia itu menyusup masuk ke dalam lembaga-lembaga Kristen. Penyebabnya tidak selalu karena kita mengabaikan apa yang terjadi, namun karena kita merasa tidak mampu untuk mengubah apa pun. Mau tidak mau, ketidakmampuan itu menyebabkan kita mengadakan gencatan senjata dengan hal-hal yang salah.
Dengan kata lain, kita tidak lagi marah, baik pada tingkat kesaksian sosial ataupun mendahului Tuhan dalam doa. Namun, Tuhan masih merasa marah dan kemarahan-Nya adalah kemarahan yang melawan hal-hal yang salah, dengan cara yang menempatkan kebenaran di tempat utama selamanya dan selamanya pula kesalahan di tempat kedua. Tanpa kemarahan-Nya, tidak ada alasan untuk hidup sesuai moral dunia. Jadi dalam hal ini, kemarahan Tuhan berkaitan erat dengan doa permohonan yang mencari wewenang kebenaran dalam segala hal dan pembinasaan kejahatan.
Kerangka pikiran yang diberikan Yesus kepada kita adalah Kerajaan Tuhan. Sebuah kerajaan adalah suatu tempat di mana kekuasaan raja diakui. Dan karena sifat dari Raja kita, kekuasaan itu bukan kekuasaan jasmani. Dalam Yesus, masa depan yang telah lama ditunggu itu telah tiba. Dalam Dia dan melalui Dia, unsur Mesianis telah masuk ke dalam dunia. Menjadi orang Kristen bukan berarti memiliki pengalaman religius yang benar, namun memulai hidup yang benar-benar rohani. Kegagalan penginjilan bukan dikarenakan oleh cara yang salah, melainkan karena "masa" sekarang ini dipenuhi oleh kehidupan orang-orang berdosa. Dan "masa yang akan datang", yang sudah menjelang, tidak dimiliki oleh suatu budaya atau orang tertentu. "Masa" Tuhan, "masa" Anak-Nya yang disalibkan, mulai datang di dunia ini. Oleh karena itu, doa-doa kita bukan lagi mengenai kehidupan pribadi kita, melainkan harus melihat pada masa depan kehidupan manusia, yang juga menjadi perhatian Tuhan. Jika Injil bersifat universal, doa pun harus bersifat universal.
Cukup relevan bila kita memandang dunia seperti satu ruang pengadilan, di mana suatu "kasus" mengenai yang hal yang benar dan yang salah masih dapat terjadi. Kelemahan kita dalam berdoa terjadi karena kita kehilangan cara pandang dan jika kita tidak memperolehnya kembali, kita tidak akan bisa bertahan sebagai pihak penggugat. Namun, selalu ada alasan mengapa kita harus memperoleh visi kita kembali dan mendayagunakan kesempatan kita. Hakim kita bukanlah hakim yang jahat atau ateis, namun Allah yang mulia dan Bapa dari Tuhan Yesus Kristus. Pernahkah Anda berpikir Dia akan gagal "memberikan keadilan untuk umat-Nya yang terpilih yang memohon sambil menangis kepada-Nya siang dan malam? Akankah Dia menolak mereka?" "Aku berkata kepadamu," Tuhan kita berkata, "Ia akan memberi mereka keadilan dengan segera" (Lukas 18:7-8).(t/Lanny)
Bahan diterjemahkan dari sumber:
Judul buku | : | Perspective on the World Christian Movement |
Judul artikel asli | : | Prayer: Rebelling Against the Status Quo |
Penulis | : | David F. Wells |
Penerbit | : | William Carey Library, Pasadena, Amerika 1981 |
Halaman | : | A 144 -- A 147 |
- Printer-friendly version
- 7860 reads