You are hereArtikel Misi / Bob Pierce dan World Vision
Bob Pierce dan World Vision
Bila Ken Strachan berupaya meraih dunia yang hilang melalui strategi penginjilan langsung, Bob Pierce memberikan kontribusi dari sudut yang berbeda. Dengan meneladani kehidupan Yesus, ia menjalankan kegiatan kemanusiaan untuk menyatakan kekristenan yang sesungguhnya. Ia berpikir, cara yang paling efektif untuk memberi kesaksian tentang Kristus adalah melalui tindakan kasih dan kepedulian yang nyata: "Yang harus kita utamakan adalah melayani kebutuhan jasmani orang yang membutuhkan, dan setelah itu kita bisa melayani kebutuhan (rohani) mereka yang sesungguhnya." Selain Allah sendiri, banyak tokoh dalam sejarah yang menunjukkan kepedulian lebih besar terhadap penderitaan manusia ketimbang Bob Pierce. "Biarlah hatiku juga merasakan kesedihan yang Tuhan rasakan" -- motto yang ditulis dalam Alkitabnya ini dengan singkat menjelaskan bagaimana ia memandang kehidupan. Ia adalah sahabat seluruh umat manusia.
Kendati Bob Pierce memiliki beban untuk menjangkau dunia, ia tidak mampu mempertahankan ikatan kasih yang paling intim dengan keluarganya sendiri. Kasih yang berlimpah ia bagikan kepada anak-anak yatim piatu dan tuna wisma serta para korban banjir, tetapi hanya secuil yang ia berikan kepada orang-orang yang paling membutuhkannya -- istri dan putri-putrinya. Kehidupan publik dan pribadinya terpisahkan oleh jurang yang sangat lebar dan hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa Bob adalah seorang yang bermasalah dan lemah. Meskipun begtu, Tuhan memakainya secara luar biasa dan kesan yang ia tanamkan kepada dunia tak mudah untuk dilupakan.
Dr. Bob, begitulah ia biasa dipanggil, lahir pada tahun 1914 sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara di Fort Dodge, Iowa. Saat ia berumur sepuluh tahun, keluarganya pindah ke California. Di sanalah ia menghabiskan sisa hidupnya. Lulus dari SMA, ia melanjutkan studinya di Pasadena Nazarene College. Di sinilah ia bertemu dengan calon istrinya, Lorraine Johnson -- putri seorang penginjil yang berhasil.
Kesuksesan tidak menyapa Bob pada awal usia dewasanya. Di kampus, ia menjabat sebagai ketua lembaga mahasiswa dan menjadi seorang pendeta muda yang menjanjikan. Namun, tiba-tiba situasi berubah demikian cepatnya. Sangat sulit mendapatkan pekerjaan pada masa resesi kala itu dan terkadang dalam hubungannya dengan Lorraine, Bob merasa seperti "berjalan tanpa tujuan di sepanjang jalan Santa Fe." Pernikahan mereka tampaknya hanya memperparah masalah. "Dunia impian" mereka berlalu dengan cepat dan kehidupan pernikahan yang sesungguhnya mulai menghadang mereka. Bob mulai berpindah-pindah pekerjaan dan Lorraine pulang ke rumah orang tuanya di Chicago. Selama berbulan-bulan, jalur komunikasi yang menghubungkan mereka hanyalah surat "kaku" yang tidak rutin dikirim. Suatu ketika, Bob menulis surat yang berkesan hangat, mengajak berdamai, dan mengakhiri suratnya dengan kalimat, "Aku mencintaimu dan menginginkanmu di sampingku. Tapi engkau ada atau tidak, aku akan tetap berjalan bersama Tuhan."
Salah satu alasan dirinya menulis surat itu kepada Lorraine adalah perubahan kondisi yang dihadapinya. Ia telah memberikan kesaksiannya sebelum konvensi tahunan Gereja Nazarene. Di hadapan ratusan pendeta dari negara bagian tersebut, ia menceritakan kesulitan yang dialaminya selama tahun lalu sambil meneteskan air mata penyesalan dan mengumumkan keputusannya untuk melayani Tuhan. Dampaknya sungguh menggemparkan. Para pendeta mencari-carinya, dan terbukalah pintu untuk pelayanan."
Di tahun-tahun berikutnya, Bob dan keluarga mudanya nyaris tak mampu memenuhi kebutuhan mereka di dunia penginjilan. Setelah itu, dia menenangkan diri selama lebih dari empat tahun dengan melayani di Los Angeles Evangelistic Center -- di mana ia bekerja bersama ayah mertuanya. Masa-masa itu tidaklah terlalu membuatnya puas, sebagian karena usahanya harus terus bersaing dengan ayah mertuanya yang sudah terlebih dulu berhasil. Hal itu membuatnya berpikir bahwa dia "bagai perahu dayung yang bertanding melawan kapal layar". Suatu hari setelah beradu argumen, ia mengundurkan diri dan tak lama kemudian pergi dari kota tersebut. Surat berikutnya yang diterima Lorraine dari Bob berupa sepucuk surat panggilan yang sudah kumal dari pengadilan, yang memberitahukan bahwa Bob sedang mengajukan gugatan cerai.
Tepat pada hari pengumuman pengadilan, Lorraine meminta Bob untuk sejenak menemuinya secara pribadi, Lorraine meminta Bob untuk tidak melanjutkan proses perceraian itu, Bob menyetujuinya. Namun, satu setengah tahun berikutnya menjadi masa pengujian yang luar biasa berat. Saat Lorraine bergumul dalam doa, Bob melanjutkan peperangan rohaninya seorang diri, dia tampaknya tak mampu menemukan jalan keluar dari penderitaan rohaninya. Akan tetapi, sekali lagi Bob menemukan jalannya kembali pada Tuhan, menyatakan pertobatannya secara terbuka dan kembali bekerja di pusat penginjilan selama dua tahun.
Selama masa pelayanannya di tempat tersebut, Bob mulai menyadari talenta istimewanya dalam membina hubungan dengan anak muda. Di tahun berikutnya, ia bekerja sebagai penginjil yang melayani kaum muda dan kemudian bergabung dengan Youth for Christ -- di sana, ia menjabat sebagai wakil ketua untuk urusan umum dan melayani bersama Torrey Johnson yang sudah dikenal orang banyak. Kapasitas inilah yang menjadi fokus pelayanan Bob di masa mendatang. Pada tahun 1947, ia diminta pergi ke Cina untuk membantu penyelenggaraan serangkaian kampanye bagi kaum muda. Meski terpaksa meninggalkan keluarganya di tengah masalah ekonomi yang pelik, ia menerima tantangan itu dengan penuh antusias dan mungkin inilah pertama kalinya ia merasakan kepuasan.
Jadwal perjalanan yang menguras tenaga tidak mematahkan semangatnya. Ia menyadari bahwa bepergian kesana-kemari sudah mendarah daging dalam tubuhnya. Ke mana pun ia pergi, ia menyaksikan tangisan-tangisan sesamanya yang meminta bantuannya. Di mana pun ia berkhotbah, ada pernyataan iman. Ini adalah saat yang penuh suka cita, saat di mana filosofinya akan pelayanan kristen mulai bersemi.
Pada perjalanannya yang kedua, tujuannya adalah negara Cina, Bob ditantang secara langsung tentang apa perannya dalam meringankan penderitaan dan kesengsaraan orang-orang yang paling membutuhkan di dunia. Tatkala mengunjungi sebuah panti asuhan milik sebuah organisasi misi di dekat perbatasan Tibet, perhatiannya tertuju pada sesosok mungil anak perempuan yang terlihat sedih, badannya yang kurus kering membungkuk dengan pasrah di bawah tangga batu yang dingin. Ketika ia menanyakan mengapa anak itu tidak diberi makan dan tinggal di panti asuhan itu, ia mendapat jawaban bahwa ternyata panti asuhan itu sudah menampung anak-anak empat kali lebih banyak dari jumlah rata-rata yang bisa mereka tampung. Bob marah karena merasa anak perempuan ini tidak mendapatkan kebutuhan hidupnya yang paling dasar sekalipun. "Mengapa tidak melakukan sesuatu?" ia memohon. "Apa yang akan Anda lakukan terhadap masalah ini?" misionaris itu menjawab dengan mendatangi anak perempuan itu dan mendorongnya dalam pelukan lengannya. Itulah yang menjadi titik balik dalam hidupnya. Sejak itu, seluruh kekuatannya dicurahkan kepada kegiatan kemanusiaan Kristen.
Bob bermaksud kembali ke Cina untuk melanjutkan pelayanan, namun perhatiannya teralih bersamaan dengan dikuasainya Cina oleh pihak komunis. Tahun 1950, ia mengunjungi Korea untuk pertama kalinya, tempat di mana penderitaan anak-anak yang membutuhkan mengilhami terbentuknya World Vision International. Dengan adanya Perang Korea yang melanda negara tersebut, ketersediaan pangan, pakaian, dan obat-obatan menjadi prioritas utama bagi para wanita dan anak-anak telantar. Namun, sejak awal berdirinya, World Vision telah menyebarkan pelayanannya ke sebanyak mungkin lokasi di mana ada orang-orang yang membutuhkan. Dalam beberapa tahun, organisasi tersebut merawat lebih dari dua ribu anak yatim piatu. Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah tersebut meningkat lebih dari seratus kali lipatnya.
Hanya dalam beberapa tahun setelah memulai pelayanannya ke seluruh dunia, kisah tentang Bob Pierce menjadi legenda orang kudus di seluruh Timur Jauh. Namun, pelayanannya tidak terbatas pada area itu saja. Selama hampir sepuluh tahun, ia dinyatakan sebagai salah satu dari sepuluh orang yang paling sering berkeliling dunia. Ke mana pun ia pergi, orang-orang mengelu-elukannya sebagai utusan Tuhan. Ketika kembali ke Amerika Serikat, ia bepergian dari pesisir ke pesisir -- untuk menyadarkan masyarakat Kristen Amerika akan kebutuhan negara-negara yang berkekurangan, menggalang ratusan ribu dolar untuk anak-anak yatim piatu, rumah sakit, dan pelayanan penginjilan.
Selama masa perkembangan World Vision yang pesat itulah, Lorraine dan putri-putrinya semakin tersingkirkan dari posisi teratas dalam daftar prioritas Bob. Saat ia kembali kepada keluarganya setelah menempuh perjalanan selama rata-rata 10 bulan dalam setahun, Bob merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri, konflik pun tak terhindarkan. Meskipun ia dapat membina hubungan yang begitu baik dengan dunia, keluarganya sendiri yang tinggal serumah dengannya terasa begitu jauh.
Masalah lain mulai timbul ketika World Vision memasuki dekade kedua perkembangannya yang pesat. Semakin sulit bagi Bob untuk berurusan dengan dewan direksi. Pada tahun 1963, para direktur memutuskan untuk mencabut penyiaran radionya, dengan alasan dananya lebih baik digunakan untuk proyek-proyek lain. Masalah utamanya meliputi gaya pengelolaannya. Bob terbiasa menggunakan uang asalkan dianggapnya cukup, tanpa memiliki otoritas, dan tanpa memberikan laporan penggunaannya. Namun, waktu pun berubah. Peraturan pemerintah menuntut penghitungan yang tepat dan Bob sangat geram karena peraturan tambahan yang diberlakukan pada dirinya oleh dewan direksi. Konflik tersebut berlangsung hingga tahun 1967 ketika mereka sampai pada satu titik panas dan Bob mengundurkan diri dengan penuh kegusaran. "Keesokan harinya, World Vision mengajukan surat pengunduran diri yang resmi, yang kemudian ditandatangani oleh Bob."
Tak lama setelah kepergiannya dari World Vision, kehidupan pribadi dan pekerjaan Bob perlahan-lahan mulai goncang. Di tahun 1968, ketika ia bepergian ke Orient bersama Lorraine dalam suatu "Tur Selamat Jalan" -- disponsori oleh World Vision sebagai kegiatan perpisahan yang terakhir -- yang tak diragukan merupakan bagian dari usaha mereka membina hubungan dengan daerah tersebut. Saat tur hampir berakhir, mereka menerima telepon dari Sharon, putri sulungnya, yang memohon agar ayahnya pulang ke rumah. Sebelumnya, Sharon telah bergumul hebat atas persoalan pribadinya dan Lorraine lebih tahu apa yang harus dilakukan, yaitu tidak meremehkan masalah ini. Namun, Bob telah merencanakan untuk mengadakan kunjungan mendadak ke Vietnam dan ia tidak mau diganggu. Lorraine segera terbang kembali ke rumahnya dan mendapati Sharon dalam keadaan lemah dan putus asa, pergelangan tangannya diperban, dan sedang dalam pemulihan dari usaha bunuh diri yang sempat dilakukannya. Di tahun berikutnya, Sharon kembali mencoba bunuh diri, keluarga Pierce pun akhirnya menguburkan putri sulungnya itu pada usia 27 tahun.
Sebelum dan sesudah kematian Sharon, Bob dirawat karena mengalami kelelahan mental dan fisik yang berat. Pemulihannya membutuhkan waktu lama dan meski bisa kembali berjalan, luka yang dalam tetap membekas. Ia semakin terpisah sedemikian jauhnya dari keluarganya, dan mereka tak akan pernah lagi menikmati hubungan yang selalu dipenuhi kebahagiaan.
Setelah beberapa tahun menjalani masa penyembuhan dan beristirahat, Bob mulai melakukan perjalanan lagi. Dengan didukung oleh World Vision, ia mendirikan Samaritan`s Purse, organisasi yang membantu para misionaris di Asia. Lalu pada tahun 1975, setelah menjalani serangkaian tes medis, dokter memvonisnya mengidap leukimia. Sekali lagi, ini merupakan pukulan keras bagi seseorang yang telah mengalami banyak hal, namun ia tidak mau menyerah. Beberapa bulan kemudian, dengan tak kenal lelah, ia sudah mengoordinasi program bantuan bagi para pengungsi di Saigon. Setelah tugasnya selesai, ia mengunjungi tempat-tempat lain yang membutuhkan pertolongan dan selalu dengan sepenuh hati melayani orang-orang yang menderita. Kendati begitu, hari-harinya tetap dihitung. Ia meninggal pada bulan September 1978, beberapa hari setelah reuni keluarga yang tak terlupakan.
Terlepas dari tak kunjung redanya konflik dan masalah yang dikaitkan dengan masa kepemimpinan pendirinya yang termasyhur di seluruh dunia, World Vision tetap mengalami pertumbuhan yang stabil dan memperluas bidang pelayanannya. Namun, saat kontribusi dan jumlah anggota terus bertambah, organisasi tersebut menolak peluang untuk dapat menjadi satu kesatuan yang berkuasa dan tetap menjalankan perannya sebagai organisasi pelayanan -- yang bekerja melalui gereja-gereja misi dan nasional lain yang telah mapan. "Ketika seseorang berkeliling dunia," tulis Richard C. Halverson, "orang tersebut tak akan sering menemukan lembaga yang menyandang nama World Vision. Namun ada ratusan sekolah, panti asuhan, panti jompo, klinik, rumah sakit, asrama, dan gedung gereja yang dibangun dengan dan/atau atas bantuan dana yang digalang oleh World Vision dan menyandang nama gereja-gereja nasional atau lembaga misionaris luar negeri yang terkenal."
Seperti kebanyakan organisasi misi lainnya, World Vision memperoleh nilai positif dari pelayanan yang dilakukan oleh sejumlah orang Kristen terkemuka dari Dunia Ketiga. Sebut saja, Dr. Samuel Kamaleson, seorang berkebangsaan India yang telah melayani selama bertahun-tahun di India di bawah naungan Gereja Metodis sebelum menjabat sebagai wakil ketua untuk urusan umum di World Vision dan sebagai ketua pelayanan Pastors` Conference tingkat internasional. Ia juga menjabat sebagai ketua Bethel Agricultural Fellowship dan telah menulis sejumlah buku.
Pada tahun 1969, Stanley Mooneyham menjadi Presiden World Vision. Di bawah pimpinannya, organisasi itu berkembang menjadi suatu organisasi bantuan dunia yang sangat efektif -- seperti keberadaannya pada masa sekarang -- tanpa meninggalkan kepedulian kepada pendirinya. Dalam "What Do You Say to a Hungry World?" Mooneyham memaparkan fakta-fakta perihal penderitaan manusia dalam bentuk yang sangat menarik bagi orang-orang Kristen untuk menunjukkan vitalitas iman mereka melalui keterlibatan diri secara aktif. Ia mengecam Church of Jesus Christ karena terlalu banyak menyibukkan diri dalam aspek-aspek kehidupan yang tak berarti. "Saat dunia mengalami krisis pangan terbesar sepanjang sejarah, gereja ini malah mengalihkan perhatian dan bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi." Ia mengutip perkataan seorang misionaris Metodis yang secara tajam menggambarkan perihal absurditas kekristenan yang membudaya pada masa kini.
Suatu hari, seorang Zambia meninggal tak sampai 100 yard dari pintu rumah saya. Ahli patologi mengatakan penyebab kematiannya adalah kelaparan. Dalam perutnya yang kempes, terdapat beberapa helai daun dan sesuatu yang sepertinya segumpal rumput. Tidak ada yang lain.
Pada hari yang sama, saya membaca suatu kolom di majalah Metodhist Recorder yang memberitakan kemarahan, kekhawatiran, pergolakan, dan komentar mengenai penundaan acara laporan akhir dari Anglican-Methodist Unity Commission ....
Hanya diperlukan seorang pria kecil jelek dengan perut kempes yang harta bendanya, menurut polisi, hanyalah sehelai celana pendek, kaus penuh tambalan, dan sebatang pulpen Biro yang kosong untuk menunjukkan pada saya bahwa keseluruhan kegiatan Union ini merupakan bagian yang sungguh mengecewakan dari sejarah British Church masa kini.
Namun, dengan cepat Mooneyham menekankan bahwa memberikan harta benda saja tidaklah cukup, atau bahkan tidak selalu menjadi bentuk bantuan yang terbaik. Ia mengutip satu peribahasa Cina yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang "bagaimana untuk ..." memiliki manfaat yang sangat luas dalam bidang tertentu. Peribahasa itu adalah "Berikan seekor ikan pada seseorang, maka Anda akan memberinya makan selama sehari; ajarlah dia untuk menangkap ikan, maka ia bisa menghidupi dirinya sendiri seumur hidupnya." Di bawah kepemimpinan Mooneyham, World Vision dapat dengan luas mengembangkan program swadayanya untuk membantu Dunia ketiga. Akan tetapi, dengan meluas dan beragamnya jenis pelayanan yang dilakukan World Vision dan organisasi-organisasi pemberi bantuan yang lain, tugas penting untuk meringankan penderitaan umat manusia sulit dimulai.
Jadi, "Apa yang akan kau katakan kepada dunia yang membutuhkan?" Tak perlu mengucapkan banyak hal untuk menyatakan Kristus jika ucapan itu tidak diikuti dengan perbuatan kasih kekristenan. (t/Lanny)
Diterjemahkan dari:
Judul buku | : | From Jerusalem to Irian Jaya |
Judul artikel | : | Bob Pierce and World Vision |
Penulis | : | Ruth A. Tucker |
Penerbit | : | Zondervan, Michigan, 1983 | Halaman | : | 468 -- 472 |
- Printer-friendly version
- 9189 reads