You are herepra-penginjilan / Bagaimana C.S. Lewis Membantu Kita Menjangkau Dunia Pasca-Kristen
Bagaimana C.S. Lewis Membantu Kita Menjangkau Dunia Pasca-Kristen
Ulasan: 'C.S. Lewis: Pra-Penginjilan untuk Dunia Pasca-Kristen' oleh Brian M. Williams
Rekan-rekan Kristen Injili saya sering sedikit terkejut saat pertama kali mereka membaca buku apologetika klasik "Mere Christianity" karya C. S. Lewis. Yang mengejutkan mereka adalah betapa jarangnya Lewis mengutip Alkitab dalam pembelaan imannya yang tajam, tetapi ramah. Apakah Lewis tidak percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah? Apakah dia malu untuk mengutipnya?
Jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah tidak. Lewis sangat percaya pada otoritas Kitab Suci, tetapi dia tahu bahwa banyak pembacanya yang tidak demikian. Memang, dia tahu bahwa wilayah Inggris pasca-Kristen yang dia bahas dalam bukunya -- yang dimulai sebagai serangkaian siaran obrolan yang dia sampaikan untuk Radio BBC pada tahun-tahun awal Perang Dunia II -- bukan hanya tidak mengakui status ilahi dari Alkitab; mereka terputus dari pandangan dunia yang dipercaya oleh Alkitab.
Tinggal dalam sebuah Kosmos Ganda
Pandangan dunia itu ganda -- sudah sewajarnya ada dunia yang tidak terlihat, lebih besar dan pada akhirnya lebih nyata daripada dunia yang terlihat yang kita rasakan dengan panca indra kita. Dunia alami yang kita lihat di sekitar kita diciptakan oleh Allah yang transenden yang ada di luar ruang dan waktu tetapi kehadiran-Nya memenuhi dan menopang semua ciptaan. Seperti yang dinyatakan oleh pemazmur, "Langit menceritakan kemuliaan Allah; dan cakrawala menyatakan perbuatan tangan-Nya" (19:1, AYT). Allah tidak diam tetapi berbicara langsung melalui para nabi, Kitab Suci, dan Anak-Nya, dan secara tidak langsung melalui ciptaan, hati nurani, akal budi, imajinasi, dan keinginan.
Saya masih ingat dengan jelas saat saya menyadari betapa zaman kita telah kehilangan pandangan dunia ganda itu. Tiba-tiba, saya memahami hal itu ketika saya mengetahui bahwa pada Abad Pertengahan, seorang realis bukanlah, seperti dikenal saat ini, seorang empiris yang hanya percaya pada hal-hal materi yang dapat dilihat atau didengar atau dirasakan atau disentuh atau dicium. Dia adalah seorang supernaturalis yang percaya bahwa ada, di balik hal-hal yang kita lihat dan kata-kata yang kita gunakan, realitas universal dan kekal. Teori Bentuk dari Plato, yang Agustinus letakkan pikiran Allah, bagi Abad Pertengahan, bukanlah peninggalan filsafat misterius, tetapi pengakuan bahwa gagasan duniawi kita tentang kebaikan, kebenaran, dan keindahan mencerminkan standar kebaikan, kebenaran, dan keindahan yang nyata, mutlak, dan ilahi yang melampaui akal dan logika manusiawi kita, tetapi yang dapat kita lihat sekilas dan ketahui sebagian.
Jika pandangan dunia itu -- satu-satunya yang dapat mendukung kepercayaan akan realitas sejarah inkarnasi, penyaliban, dan kebangkitan -- telah hilang, lalu bagaimana mungkin penginjil Kristen berharap untuk meyakinkan seseorang untuk mengakui Kristus sebagai Allah dan percaya bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari kematian (Rm. 10:9-10)? Pandangan dunia materialistis hari ini tidak dapat membayangkan Allah menjadi manusia atau penebusan dosa atau kebangkitan tubuh. Itu bahkan tidak dapat membayangkan sebuah buku yang diilhami secara ilahi sebagai medium bagi Firman Allah yang kekal untuk menjembatani kesenjangan antara yang tak terlihat dan yang terlihat, yang supernatural dan yang alami.
Apologetika sebagai Prapenginjilan
Karena alasan itulah pekerjaan penginjil seringkali harus didahului dengan pekerjaan seorang ahli apologetika yang, daripada menyajikan Injil, mempersiapkan hati orang-orang materialis pasca-Kristen sehingga mereka mau menerima pesan keselamatan. Di antara para praktisi pra-penginjilan yang vital ini, yang paling sukses, dan paling bertahan lama, adalah Lewis. Alasan kesuksesannya adalah karena dia mengambil pendekatan ganda untuk membantu memulihkan pandangan dunia ganda yang hilang.
Dalam karya-karya nonfiksi seperti "Mere Christianity", "The Problem of Pain", dan "Miracles", dia berargumen secara logis dan rasional tentang keberadaan dan keterlibatan supernatural di alam. Bersamaan dengan itu, dalam karya fiksi seperti "The Chronicles of Narnia" dan "The Space Trilogy", dia membuat para pembacanya mengalami bagaimana rasanya hidup di dunia yang dipenuhi dengan kehadiran kebaikan, kebenaran, dan keindahan ilahi. Atau, menggunakan terminologi "A Secular Age" karya Charles Taylor, fiksi pra-penginjilan Lewis membawa pembaca dari dunia modern yang dilindungi (satu dunia "yang tidak dapat ditembus" campur tangan dan pertanggungjawaban ilahi) ke dunia abad pertengahan yang dapat ditembus (di mana supernatural itu nyata dan terlihat, yang memprovokasi emosi terpesona dan kekaguman, keindahan dan teror).
Meskipun sikap Lewis ini telah diakui dan disinggung oleh berbagai sarjana, Brian M. Williams telah melakukan pekerjaan yang luar biasa bagi dunia apologetika dengan mengeksplorasi secara rinci teori dan metode yang memungkinkan Lewis membuka mata orang-orang pasca-Kristen yang tinggal di dunia materialistis yang tidak dapat ditembus kepada kemungkinan dunia supernaturalis yang dapat ditembus di mana Pencipta yang penuh kasih mungkin saja memasuki ciptaan-Nya dan mati untuk makhluk pemberontak yang Dia ciptakan.
Pada Jejak Keinginan
"C. S. Lewis: Pre-Evangelism for a Post-Christian World: Why Narnia Might Be More Real Than We Think" ("C.S.Lewis: Pra-Penginjilan untuk Dunia Pasca-Kristen: Mengapa Narnia Mungkin Lebih Nyata Daripada Yang Kita Perkirakan" - Red.) dimulai dengan biografi Lewis yang panjang. Williams dengan cermat menelusuri bagaimana pencipta Narnia ditarik kepada Kristus melalui proses lambat yang dimulai dalam imajinasinya dan bekerja melalui keinginannya untuk sesuatu yang mengarah ke luar melampaui dunia yang alami. Bukan akalnya, tetapi imajinasinya yang mendorongnya untuk mencari sumber supernatural karena keinginannya, pencarian yang membuatnya menerima Allah yang transenden, tetapi tetap imanen yang selama bertahun-tahun dipegang oleh pikiran logisnya.
Tentang Kehidupan imajinatif Lewis, Williams menulis,
"penuh dengan keinginan, dan berbagai kunjungan Joy (istri Lewis - Red.) sepertinya memberi isyarat bahwa dia berasal dari dunia lain. Namun, alasannya, yang dibentuk oleh naturalisme, menyangkal keberadaan dunia lain ini. Dia telah sangat dipengaruhi oleh asumsi Enlightenment bahwa sejarah intelektual adalah kisah pemikiran takhayul yang lebih tua yang terus memberi jalan kepada pemikiran baru, dan dengan tambahan yang tidak semestinya, yang lebih benar dan konkret." (79)
Pikiran rasionalnya tidak akan pernah bisa melompati asumsi Enlightenment yang ditanamkan secara mendalam jika imajinasinya tidak mendorongnya untuk mencari jawaban di luar batas-batas pandangan dunia naturalistik tempat dia dilahirkan.
Siswa dan penggemar lama Lewis, terutama jika mereka telah membaca otobiografi spiritualnya, "Surprised by Joy", akan mengerti sebagian besar dari apa yang dibahas Williams dalam bab pertamanya. Mereka mungkin kurang mengerti analisis yang terdapat pada bab-bab berikutnya. Dengan menyisir buku dan esai nonfiksi Lewis dengan teliti, Williams, yang telah mengajar kursus tentang sejarah gagasan dan filsafat di College at Southeastern di Wake Forest, North Carolina, mengidentifikasi dua tema berulang yang penting bagi keberhasilan pra-penginjilan Lewis. Dalam semua karya tulisnya -- secara langsung dalam nonfiksi, secara tidak langsung dalam fiksi -- Lewis menyarankan "kembali ke kepercayaan pada sifat universal dan sakramental dari realitas yang menunjukkan kepercayaan ini" (133).
Bayangan yang Menunjuk pada yang Solid
Bagi Lewis, Platonis Kristen, dunia kita yang terlihat, meskipun nyata, adalah bayangan dari dunia tak terlihat yang lebih besar. Williams membantu pembacanya memahami kekuatan pra-penginjilan dari pengamatan ini melalui meditasi sederhana tetapi tajam tentang sifat bayangan: "Bayangan hanya dapat muncul ketika cahaya mengenai suatu objek yang cukup solid untuk menghalanginya bersinar di permukaan di belakang atau di bawahnya. Bayangan itu memberi Anda dan saya petunjuk bahwa ada sesuatu yang lebih solid daripada yang ada. Pandangan rohani Lewis tentang realitas memiliki kedekatan yang erat dengan fenomena 'bayangan-menunjuk-ke-yang solid' ini" (81).
Orang-orang pasca-Kristen yang kepercayaan naturalistiknya tidak mengizinkan mereka untuk mengakui keberadaan supernatural mungkin masih mau mengakui bahwa ada hal-hal di dunia ini yang memancing keinginan (Joy) di dalam diri mereka dan seolah-olah mengarah ke luar melampaui diri mereka sendiri. Pra-penginjilan tidak perlu membantah bahwa Allah adalah sumber dari keinginan itu; tetapi hanya perlu membuka kemungkinan bahwa mungkin ada yang solid di balik bayangan, sebuah pola dasar di balik salinannya.
Dari sana, langkah selanjutnya adalah menyarankan bahwa hal-hal tertentu di dunia kita tidak hanya mencerminkan realitas universal (kebaikan, kebenaran, keindahan) tetapi juga berpartisipasi dalam realitas itu. Lewis, Williams menjelaskan, "menggunakan istilah 'transposisi' untuk menyampaikan sifat realitas partisipatif ini" (91), tetapi pra-penginjil dapat menggunakan kata seperti pesona atau sakramen atau bahkan sihir untuk menyampaikan pesan yang sama. Yang penting adalah membangun struktur, dan keinginan, untuk sebuah interaksi antara yang terlihat dan yang tidak terlihat.
Gambar dan Imajinasi
Sebagian besar sarjana yang melakukan studi tentang Lewis saat ini menyoroti perbedaan yang dia buat antara akal sebagai medium kebenaran dan imajinasi sebagai medium makna. Williams mengambil perbedaan kunci itu satu langkah lebih jauh dengan menganalisis esai Lewis yang diterbitkan Walter Hooper untuk pertama kalinya pada tahun 2013, "Image and Imagination".
Dalam esai yang agak misterius ini, yang dibedah oleh Williams dengan baik, Lewis menjelaskan bahwa imajinasi, jauh dari sekadar membayangkan gambar, menyediakan konteks yang memungkinkan makna. Jika seorang penulis fantasi menulis tentang seorang putri di menara tinggi, kata-kata itu tidak akan memiliki arti apa pun kecuali imajinasi kita membangun dunia seperti milik kita yang dapat berisikan seorang putri dan menara.
Williams menyodorkan contoh yang kuat tentang bagaimana imajinasi, alih-alih alasan, mengisi konteks dengan mengamati berbagai cara para pengamat di Golgota menafsirkan gambar yang mereka lihat tentang Kristus di kayu salib. Meskipun mereka semua melihat detail fisik yang sama, mereka "berbeda secara signifikan . . . tentang makna yang mereka berikan pada apa yang mereka lihat. Beberapa orang melihat penipu dan penghujat menerima hukuman yang pantas dia terima. Yang lain melihat Anak Allah, yang, meskipun tidak bersalah, menerima hukuman seorang penjahat. Beberapa mencemooh. Yang lain menangis. Perbedaannya tidak dapat dijelaskan dengan deskripsi dari apa yang dilihat. Itu hanya bisa dijelaskan dengan seperti apa keseluruhan adegan itu" (148).
Karena "imajinasi berfungsi untuk membangkitkan keinginan dan juga membantu seseorang memahami makna" (180), itu umumnya mendahului pekerjaan akal, yang, selama terperangkap dalam pandangan dunia naturalistik, tidak akan memahami kebutuhan akan sesuatu di luar alam maupun konteks di mana kebutuhan semacam itu dapat dijawab. Hanya ketika "akal bekerja sama dengan imajinasi dalam menanggapi sukacita, [pilihan pribadi seseorang] akan melampaui sekadar kerinduan untuk mencari" (180).
Membangun Dunia Lain
Lewis sang penulis fantasi berhasil menyampaikan dan menginspirasi kerinduan itu melalui "Space Trilogy dan Chronicles of Narnia"-nya dengan membangun dunia di mana imajinasi dapat bertemu dan mendapatkan makna dalam realitas ganda. Dengan tinggal di dunia seperti itu, yang sama dan juga tidak sama seperti dunia kita, imajinasi masuk ke dalam pandangan dunia baru, cara persepsi baru yang memungkinkannya menemukan jenis makna sakramental yang sama di dunia kita. Kemudian -- dan, bagi banyak orang pasca-Kristen, baru kemudian -- akal dapat masuk dan mengubah kerinduan menjadi pencarian, keinginan menjadi pencarian akan yang ilahi.
Tentu saja, agar efektif, realitas lain itu harus dibangun dengan baik, harus mengandung metafora yang baik yang dapat mencerminkan dan berpartisipasi dengan baik dalam realitas yang lebih besar, baik dunia dongeng maupun dunia kita sendiri. Justru karena Lewis berhasil menemukan dan menghidupkan metafora sakramental yang begitu ekspresif sehingga cerita Narnia dan fiksi ilmiahnya terus memiliki kekuatan apologetika untuk membuka hati ke kosmos yang dapat ditembus dan dengan demikian memberi jalan bagi pikiran untuk menerima pesan Injil.
Williams menyimpulkan dengan tepat pergerakan dari hati ke pikiran, imajinasi ke akal, yang menjadikan mitos Lewis model yang sempurna untuk calon pra-penginjil abad ke-21: "Ketika, pada waktunya, pesan Kristen disajikan dengan jelas, Lewis berharap bahwa orang tersebut akan menyadari bahwa ini adalah kebenaran yang selama ini dia senangi, terlepas dari kostum fantastiknya, dan karena itu dia pada gilirannya akan membuat langkah rasional dan akhirnya berkeinginan untuk mengikuti Kristus" (266).
Mungkin dengan pikiranlah kita berserah diri kepada Allah. Akan tetapi, bagi kebanyakan orang pasca-Kristen, penyerahan itu tidak akan terjadi sampai hati dan keinginan imajinatifnya dinyalakan kembali. (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | The Gospel Coalition |
Alamat situs | : | https://www.thegospelcoalition.org/reviews/cs-lewis-post-christian/ |
Judul asli artikel | : | How C. S. Lewis Helps Us Reach a Post-Christian World |
Penulis artikel | : | Louis Markos |
- Login to post comments
- 1072 reads