You are hereArtikel Misi / Absolutisme dan Relativisme

Absolutisme dan Relativisme


Relativisme budaya berbeda dengan relativisme etis, dan keduanya itu harus dibedakan dengan saksama. Relativisme etis berbicara tentang pengabaian prinsip dan tidak adanya rasa tangggung jawab dalam pengalaman hidup seseorang. Sebaliknya, relativisme budaya berbicara mengenai pegangan yang teguh pada prinsip, pengembangan prinsip tersebut, dan tanggung jawab penuh dalam kehidupan dan pengalaman seseorang.

Relativisme budaya mengizinkan anggota masyarakat untuk mengalami hal-hal yang mutlak dan mengetahui makna hidup mereka sesungguhnya. Masalah pencurian di Amerika Tengah yang multibudaya, misalnya, setiap orang di sana mengerti suatu hal yang mutlak, "Tidak boleh mencuri." Setiap orang di sana mengerti, mengiyakan, dan mempraktikkan hal-hal yang mutlak dalam aturan dan norma masyarakat, memenuhi tanggung jawabnya sebagai individu maupun anggota masyarakat. Tak seorang pun melanggar apa yang sudah mutlak dalam menyesuaikan diri dan hidup berdampingan dengan orang lain. Dengan sendirinya, konflik norma terselesaikan dengan mudah melalui saling pengertian. Penyelesaian konflik pun dijaga melalui pengadaptasian yang arif oleh masyarakat. Kekacauan justru timbul dalam masyarakat berbudaya tunggal karena adanya keterhubungan antara relativisme budaya dan relativisme etis.

Kekacauan juga timbul akibat penggabungan absolutisme alkitabiah dan absolutisme budaya. Banyak orang yang memiliki niat baik dalam ranah budaya tunggal yang menganggap bahwa cara mereka bertindak bukan hanya cara yang Tuhan kehendaki untuk mereka lakukan, tapi juga untuk orang-orang dari budaya lain lakukan. Mereka merasa tindakan mereka menyenangkan hati Tuhan. Jika tindakan mereka ternyata tidak menyenangkan-Nya, mereka akan mengubahnya sehingga apa yang mereka lakukan menyenangkan Tuhan. Jika pada faktanya ada hal-hal alkitabiah yang mutlak, hal-hal itu harus diwujudkan dalam pikiran, perkataan, dan tindakan orang Kristen. Oleh karena itu, dalam pikiran mereka, absolutisme membentang dari kemutlakan Tuhan sampai ekspresi manusia atas kemutlakan tersebut dalam ranah budaya. Variasi lain dari pola pemikiran tersebut dalam nuansa sosial budaya akan berujung pada pengabaian hal-hal yang mutlak. Jadi absolutisme alkitabiah bercampur selamanya dengan absolutisme budaya. Orang yang tidak mendukung absolutisme seperti itu pasti dianggap sebagai relativis dan tidak percaya terhadap hal-hal yang mutlak dalam hal apa pun.

Ada empat kombinasi dari kedua istilah itu. Alkitabiah/budaya dan absolutisme/relativisme menghasilkan keempat kombinasi berikut:

  1. Absolutisme alkitabiah dan absolutisme budaya.
  2. Absolutisme alkitabiah dan relativisme budaya.
  3. Relativisme alkitabiah dan absolutisme budaya.
  4. Relativisme alkitabiah dan relativisme budaya.

Dilihat dari sejarah, kombinasi nomor tiga bukanlah kombinasi yang diperhatikan oleh gereja. Jika seseorang tidak mengiyakan kombinasi nomor satu, maka secara otomatis dapat diasumsikan bahwa ia meninggalkan semua kemutlakan dan mendukung relativisme alkitabiah dan relativisme budaya. Para profesional berpegang pada kombinasi nomor empat, namun kesalahan itu bukan dikarenakan profesi mereka, melainkan dikarenakan keprofesionalitasan mereka. Seorang profesional yang tidak nyaman dengan relativisme alkitabiah dan budaya tidak perlu berpegang pada kombinasi yang merupakan gabungan dari relativisme. Dia bisa memilih kombinasi nomor dua dan membantu anggota masyarakat suatu budaya mengenal Allah seutuhnya sebagai anggota budaya tersebut tanpa harus menjadi misionaris.

Absolutisme Alkitabiah dan Relativisme Budaya

Pendekatan absolutisme alkitabiah dan relativisme budaya menegaskan adanya gangguan supernatural yang melibatkan tindakan dan ajaran. Bahkan seperti Kristus, melalui inkarnasi, menjadi daging dan tinggal di antara kita, demikian juga ajaran atau kebenaran menjadi terwujud dalam budaya. Bagaimana pun, seperti halnya firman membuat daging tidak kehilangan keilahian-Nya, demikian juga ajaran tidak kehilangan kebenarannya melalui perwujudannya dalam bentuk sosial budaya manusia. Ajaran itu selalu menyeluruh dan utuh sebagai kebenaran. Selama ekspresi sosial budaya didekati secara lintas budaya, maka hal itu dapat dikatakan sebagai kebenaran juga. Saat kebenaran dikawinkan dengan satu perwujudan budaya, potensi adanya "kepalsuan" sangat besar. Yang lebih serius lagi, potensi adanya kepalsuan dalam budaya yang memakukan kebenaran pada satu perwujudan budaya, lebih besar, jika budaya tersebut sedang mengalami proses perubahan.

Sekali lagi, tentang masalah pencurian dalam ranah lintas budaya, perintah "tidak boleh mencuri" sebagai suatu moral yang mutlak dan kebenaran yang dikomunikasikan dalam budaya, diwujudkan di Amerika Utara. Perwujudan itu ada dalam budaya Suku Pocomchi Maya yang diberlakukan sama-sama menyeluruh dan utuh dalam hal properti pribadi dan umum.

Empat pertanyaan untuk memastikan keabsahan dari masyarakat yang berbeda-beda.

Pertanyaan yang biasanya muncul adalah norma atau cara hidup mana yang benar. Masalah itu diselesaikan dengan lebih dulu mengajukan pertanyaan-pertanyaan lintas budaya seperti berikut ini.

  1. Apakah norma itu?
  2. Apakah norma tersebut dipatuhi?
  3. Apakah norma itu memerlukan perubahan?
  4. Siapakah yang bertanggung jawab untuk mengubah norma itu?

Rata-rata orang yang menjalani hidupnya berdasarkan normanya sendiri, mendekati orang lain dari sudut pandang norma yang dianutnya. Biasanya ia akan mengawali empat pertanyaan tersebut dengan pertanyaan nomor tiga. Karena norma-norma yang dianut orang lain dilihat dari sudut pandangnya sendiri, maka norma orang lain perlu untuk berubah. Bila norma yang dianut orang lain tampaknya perlu diubah, maka orang yang memutuskan perlunya ada perubahan itu adalah orang yang bertanggung jawab untuk mengubahnya. Hal ini mungkin terjadi dalam relasi orang tua dengan anaknya, seseorang dengan pasangannya, seorang misionaris dengan negara tertentu, dan seorang pendeta dengan jemaat. Proses perubahan norma orang lain tersebut tergantung sepenuhnya kepada orang yang memutuskan bahwa norma itu perlu berubah. Keterlibatan orang lain dalam keputusan akhir, tidak diperlukan. Jadi orang tua mengambil keputusan untuk anaknya, seorang pasangan mengambil keputusan untuk pasangannya, dewan misionaris yang mengambil keputusan untuk negara, fakultas yang mengambil keputusan untuk mahasiswa, pendeta yang mengambil keputusan untuk jemaatnya. Dalam konteks Kristen, bila seseorang yang membuat keputusan memerlukan dukungan, dia hanya boleh mencari dukungan dari figur yang dengannya ia telah mengonsultasikan masalah yang ada -- Roh Kudus. Dengan demikian, tak seorang pun dapat mempertanyakan keputusan akhirnya.

Orang yang mendekati tindakan, pikiran, atau keyakinan orang lain dari sudut pandang lintas budaya atau dwibudaya, akan memulainya dengan pertanyaan nomor satu. Dia akan benar-benar berusaha memahami sistem di mana tindakan, keyakinan, atau pikiran itu didasarkan dan kemudian bertanya apakah masyarakat yang ada memenuhi norma yang telah ditetapkan secara bertanggung jawab; artinya, dia akan menanyakan pertanyaan nomor dua setelah memahami benar sistem norma yang ada. Dia akan menyelidiki arti dari menjalani hidup berdasar motivasi. Dia akan memerhatikan apakah yang menjadi hal paling penting bagi seseorang -- tindakan yang bertanggung jawab atau tindakan yang tak bertanggung jawab. Kemudian dia akan menuju pada pertanyaan nomor tiga. Saat agen perubahan (orang yang mengubah) menanyakan pertanyaan ini, dia akan melakukannya, bukan dalam bentuk normanya sendiri, namun dalam bentuk norma orang lain. Hal ini dengan serta merta akan melibatkan orang lain dalam proses perubahan. Namun yang lebih penting, pendekatan yang seperti ini akan membuka kemungkinan untuk norma sang agen perubahan juga turut berubah. Saat norma dari kedua belah pihak berpeluang untuk berubah, besar kemungkinan Roh Allah akan masuk dan menuntun salah satu atau kedua pihak dalam proses perubahan. Dalam cara yang dinamis, tiga oknum ini bertanggung jawab atas perubahan norma; Roh Allah, orang yang normanya perlu berubah karena digerakkan oleh Roh, dan orang yang mendukung. Jadi, hubungan timbal balik yang sejati berkembang, membuka salah satu atau kedua-duanya kepada perubahan norma yang efektif.

Saat agen perubahan yang telah terbuka untuk normanya sendiri atau norma orang lain untuk berubah, terus melangkah, dia menemui adanya kebutuhan baru untuk dipenuhi. Dia sekarang memerlukan sesuatu yang lain dari hanya sekadar perubahan perilaku. Dia merasakan perlu adanya beberapa tujuan, standar eksternal.

Injil-injil, dalam bentuk Alkitab, memberikan standar ini. Orang pertama, juga dengan orang lain, yakni orang yang normanya memerlukan perubahan dan yang mendukung perubahan itu, bekerja bersama Injil dalam bahasa yang mereka berdua bisa pahami dan meresponinya sebagai "firman Allah". Bagi orang-orang tertentu di Amerika Utara, mereka hanya dan akan selalu meresponi Alkitab versi King James. Bagi masyarakat Amerika Utara lainnya, mereka hanya dan akan selalu meresponi Alkitab dalam versi beberapa bahasa kontemporer, tergantung pada dialek bahasa Inggris mereka. Bagi mereka yang beretnik dan berlatar belakang yang berbeda, Alkitab yang mereka pakai adalah produk dari program terjemahan yang dipimpin oleh perorangan, suatu masyarakat Alkitab, atau oleh beberapa organisasi lain, seperti program penerjemahan Wycliffe Bible Translators dan Tyndale Living Bible.

Dalam proses yang dinamis ini, tuntutan perubahan dari tantangan lintas budaya dan dalam suatu masyarakat dalam suatu masa, dapat teratasi dengan efektif.

Namun suatu masalah baru mungkin harus dihadapi oleh agen perubahan saat proses itu dimulai dan saat proses perubahan yang kooperatif dan timbal balik itu berlangsung. Bagaimana jika norma kedua belah pihak tidak perlu berubah? Bagaimana jika sebuah norma berubah perlahan dalam jangka waktu yang lama? Bagaimana jika norma dari orang pertama berubah, namun norma pihak yang lain yang perlu berubah, malah tetap? Mungkin ini adalah tantangan terbesar yang dihadapi oleh para misionaris atau agen perubahan. Dia datang ke suatu komunitas dengan asumsi bahwa norma akan berubah dengan masuknya Injil. Namun demikian, bukankah mereka kafir? Hal-hal tertentu akan berubah hanya tuntutan kontak lintas budaya, namun mungkin ada daerah-daerah yang sulit untuk berubah.

Banyak faktor yang memengaruhi hal itu. Ada kemungkinan misionaris tidak memerhatikan pimpinan Roh Kudus. Terjemahan Alkitab yang digunakan untuk menjangkau mereka mungkin tidak mencukupi. Ada kemungkinan misionaris telah salah mengartikan latar belakang sosial budaya atau Alkitab. Ada kemungkinan pula norma yang dianut misionaris harus berubah sebelum tercipta fondasi yang akan memunculkan perubahan pada orang lain. Ada kemungkinan juga bahwa perubahan sedang terjadi, tetapi dalam tempo yang lambat, jauh lebih lambat dari yang diharapkan agen perubahan, atau jauh lebih lambat dari apa yang sebenarnya bermanfaat bagi orang-orang yang terlibat. Atau bahkan mungkin juga Injil bisa masuk dalam suatu kehidupan tanpa diperlukan adanya perubahan -- terlepas dari perubahan rohani.

Beberapa usaha untuk mengubah suatu norma supaya menjadi sama dengan norma lain akan menyebabkan orang yang normanya menjadi pusat perhatian, terlempar dalam konflik -- suatu keadaan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan rohani. Seseorang harus berhati-hati untuk tidak menimbulkan konflik sosial yang tidak ada gunanya supaya ia tidak bingung pada konflik rohani yang biasanya terjadi dengan masuknya berita kebenaran alkitabiah, yakni Injil. Perhatian ekstra harus diberikan sehingga setiap kemajuan dalam perubahan, tetap sejalan dengan sistem sosial budaya yang berlaku untuk memastikan keunikan budaya yang diperlukan dalam pertumbuhan rohani. Akhirnya, pendukung yang bekerja sama dengan orang lain bisa maju melalui suatu gaya pelayanan yang efektif untuk mendorong kreativitas dalam pengalaman hidup masyarakat Kristen. (t/Dian dan Ratri)

Diterjemahkan dari:

Judul buku : Christianity Confronts Culture
Judul asli artikel : Absolutism and Relativism
Penulis : Marvin K. Mayers
Penerbit : Zondervan Publishing House, Michigan 1974
Halaman : 231 -- 237

e-JEMMi 20/2008