You are heree-JEMMi No.08 Vol.13/2010 / Selamat dari Perbudakan
Selamat dari Perbudakan
Pertama, mereka mendengar suara mesin motor di dekat rumah mereka. Sementara S dan ibunya, MR, melihat orang yang bersepeda motor tersebut memacu motornya menyeberangi lapangan. Itu adalah M. M mendekati mereka dan turun dari sepeda motor. M menembakkan senjata pistolnya ke udara dan mendorong MR hingga jatuh ke tanah. Ia memukul S dan menyeretnya ke sepeda motor, memaksanya duduk di depannya. "Jika kamu bersuara, aku akan menembakmu," katanya, sambil mendorong ujung pistolnya di punggung S. MR berusaha mencegahnya, tetapi tidak mampu karena M mencekiknya. M melepaskan cekikannya dan memacu motornya. Ia membawa S ke rumahnya. Di dalam rumah ini, ia menjebloskan gadis ini ke dalam sebuah kamar yang hanya dilengkapi dengan sebuah tikar di lantai. Kamar ini akan menjadi penjaranya dan ruang penyiksaan selama empat bulan setelah hari itu.
Sejarah Penganiayaan
Orang-orang Kristen Pakistan seperti S diperlakukan lebih buruk daripada warga negara kelas dua. Mereka disebut chora, yang artinya "tukang sapu kasta terendah." Mereka adalah orang-orang yang menjalani pekerjaan yang tidak dikehendaki. Pengadilan, polisi, dan pihak yang berwenang seringkali berprasangka buruk terhadap orang-orang Kristen, yang berjumlah hanya 2 persen dari total populasi di Pakistan. Hukum agama yang sedang diterapkan makin mendalam. Hukum ini mengizinkan kekerasan terhadap orang-orang Kristen atau mereka yang berkeyakinan lain. Hukum itu juga mengizinkan membunuh orang-orang "agama lain" yang meninggalkan agamanya. Oleh karena itu, penculikan dan penyerangan S pada bulan September 2007 bukanlah suatu hal yang luar biasa.
Sekarang S berusia 20 tahun. Ia tumbuh dalam keluarga Kristen dan dibaptis pada tahun 2002. Ayahnya meninggal pada 1990 dan keluarganya -- ibu, saudari, dan kedua saudaranya berjuang untuk hidup. Kakak laki-lakinya, R, bekerja di sebuah pabrik kapas untuk menyokong pendidikan S. R memimpin saudara kembar dan ibunya berdoa setiap malam. R membela orang-orang Kristen di komunitas mereka. Ia terang-terangan menentang orang-orang "agama lain" yang menyiksa gadis-gadis Kristen. Mereka mengancam untuk membunuhnya. Suatu kali beberapa remaja dengan sebuah pistol menghentikan perjalanannya saat ia melalui ladang tebu tetapi ia berhasil meloloskan diri.
Pada tanggal 3 Juli 2004, tiga orang pria "agama lain" yang merupakan teman R datang untuk berbicara dengannya. Ia keluar dan duduk bersama mereka di bawah pohon mangga. Mereka memberinya minuman yang sudah dicampur dengan pil tidur, dan R tertidur. Salah seorang dari mereka menembak kepala R, membunuhnya saat itu juga. Ketiga pria lain membuang mayatnya di alang-alang di samping jalan besar. Seseorang yang lewat menemukan mayatnya keesokan paginya.
Berseru Kepada Tuhan
Keluarga R saat itu hancur. Mereka telah kehilangan pemimpin spiritual mereka dan yang menafkahi mereka. S marah. "Aku ingin melihat para pembunuh itu di balik jeruji besi," katanya. Untuk mencari keadilan S sudah pasti akan membayar harga yang mahal. Orang-orang di Pakistan mendanai kejahatan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Pejabat yang korup meminta uang untuk melakukan segala hal. Keluarga menjual rumah, ternak, dan tanah mereka demi uang untuk membayar proses kasus peradilan pembunuhan R oleh tiga orang pria tersebut. Setelah dua tahun, keluarga kehabisan uang. Pihak pengadilan mengatakan kepada mereka bahwa kasus mereka akan dihentikan jika mereka tidak dapat membayar.
Lalu datanglah si M. Pada awal perkenalan, M layaknya seorang pahlawan. Walaupun ia "beragama lain", ia berjanji untuk menolong keluarga ini melalui kasus ini. Ia mengatakan bahwa ia mengenal pejabat negara yang akan menolong mereka. M memberikan S beberapa dokumen seraya mengatakan kepadanya bahwa berkas dokumen tersebut adalah untuk kasus pembunuhan kakaknya. Beberapa bulan kemudian, S dan keluarganya mendengar rumor yang beredar di desanya bahwa ia dan M telah menikah. Ternyata M menggunakan tanda tangan S untuk memalsukan sertifikat nikah. Para pemimpin desa menekan M hingga ia akhirnya menandatangani persetujuan perceraian. Tiga hari kemudian, pada tanggal 25 September 2007, M mengendarai sepeda motornya dan menculik S di bawah ancaman pistolnya.
"Pindah Agama atau Mati"
M menyekap S di lantai paling atas dari rumah bertingkat dua di balik dua pintu yang terkunci. Setiap malam ia berkali-kali melecehkan S. Terkadang ia juga datang pada siang hari untuk melecehkannya. Setelah itu, ia memukuli S. Ia meninju S, menamparnya, dan menghantamkan kepalanya ke tembok. Sementara M menyiksanya, S terus berdoa, berseru kepada Tuhan untuk menyelamatkannya. "Aku terus mengucapkan Mazmur 23, 120, dan 121 di dalam hatiku. Ayat-ayat itu menguatkanku bahwa Tuhan adalah benar-benar gembalaku, dan Ia akan membebaskanku segera. Oleh karena itu aku mendapatkan kekuatan," katanya. M berkata kepadanya, "Jika kamu berpindah agama, aku akan berhenti memukulimu." Tetapi S tetap teguh, dengan berkata kepadanya, "Kristen adalah agamaku, bukan 'agama lain'. Aku adalah seorang Kristen, dan jika kamu mau membunuhku maka bunuhlah aku, tetapi aku tidak akan masuk 'agama lain'."
"Setiap hari, aku memerhatikan pintu," kata S. Setelah empat bulan dalam penyekapan, pada 11 Januari 2008, M lupa mengunci pintu. S menyelinap keluar dan melarikan diri ke rumah keluarganya yang meneteskan air mata sukacita atas kepulangannya.
Memercayai Keadilan Tuhan
Walaupun mereka kembali berkumpul, keluarga dalam keadaan yang sulit. Mereka meminjam uang dalam jumlah besar, sekitar 2 juta rupiah dari pemilik usaha pembuatan batu bata untuk mengajukan kasus penyekapan oleh M kepada pihak yang berwajib. Untuk membayar hutang itu, semua anggota keluarga bekerja sebagai budak (berdasarkan perjanjian dengan majikan) di tempat pembuatan batu bata. Di tempat-tempat inilah, banyak orang-orang Kristen Pakistan, seperti S, diperbudak oleh hutang mereka kepada pengutang yang kaya. Mereka bekerja membanting tulang di tempat ini, membuat batu bata dengan tangan mereka. Semua 11 orang anggota keluarga S tinggal di kompleks tempat pembuatan batu bata di sebuah rumah kecil tanah liat tanpa ada dapur dan kamar mandi. Mereka bekerja 12 jam per hari. Untuk setiap 1000 batu bata yang mereka buat, mereka mendapat upah Rp 30.000. Bahkan keponakan S yang masih kecil terpaksa ikut bekerja.
Iman dalam Tuhan menguatkan keluarga ini. "Setiap hari pada waktu malam, kami mengadakan persekutuan doa di rumah dengan keluargaku. Aku merasa kuat di dalam imanku ketika kami membaca firman Tuhan," kata S. Setiap Kamis mereka menghadiri persekutuan doa di Gereja Apostolik Baru.
Alkitab membantu memulihkan pikiran S juga. Ia berkata pada perwakilan kami, "Sebelumnya, ketika aku berusaha membawa para pembunuh kakakku dan orang yang memperkosaku ke meja hijau, aku sulit mengampuni mereka. Aku ingin membalas dendam. Lalu aku membaca dan mendengar di dalam firman Allah bahwa kita harus mengampuni mereka yang menganiaya kita. Itu adalah hal yang sulit bagiku -- untuk mengampuni mereka. Aku memerlukan waktu sekitar setahun untuk melupakan dan memaafkan mereka. Sekarang, aku telah mengampuni mereka yang menganiaya aku. Tuhan dapat melakukan apa pun. Ia akan menegakkan keadilan bagiku."
Dibebaskan dari Perbudakan
Perwakilan kami di Pakistan mendengar kisah S dan mewawancarainya pada bulan Juli 2008. Satu bulan kemudian perwakilan kami membayar hutang keluarga tersebut sekitar Rp 2 juta kepada pemilik usaha pembuatan batu bata. Perwakilan kami juga membelikan sebuah becak, yang akan digunakan keluarga ini untuk memulai bisnis transportasi. Adik laki-laki S, ML, akan mengantar penumpang dari desa ke halte bis. Ia mengharapkan mendapat pemasukan sekitar Rp 500.000 per bulan, yang akan cukup untuk membayar biaya makan dan kebutuhan hidup keluarga. "Doa adalah segalanya bagi kami," kata S kepada perwakilan kami. "Kakakku R selalu mendorong aku untuk berdoa. Ia berkata kita harus berdoa kepada Allah di dalam setiap keadaan. Keluargaku dan aku telah mengalami pengalaman yang luar biasa melalui semua ini bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan umat-Nya. Sungguh ini adalah jawaban dari doa." Perwakilan kami dan keluarga S bersama-sama berdoa mengucap syukur.
S ingin melanjutkan pendidikannya dan ingin menjadi seorang dokter suatu hari nanti. Perwakilan kami akan membayar biaya sekolahnya di Sekolah Pemerintah Khusus Perempuan. "Kami merasa ini adalah suatu kehormatan yang besar dan berkat dari Tuhan bahwa Ia memakai kami untuk kemuliaan-Nya," tulis perwakilan kami di Pakistan setelah ia bertemu dengan S. Ia juga baru saja menolong 11 keluarga Kristen lainnya dari perbudakan pembuatan batu bata. Keluarga S sudah mulai mengadakan persekutuan doa untuk teman-teman dan tetangga di rumah mereka, dan S ingin memulai pelayanan sekolah minggu. "Adalah keinginanku bahwa aku bisa berkhotbah dan mengajar tentang Yesus Kristus di antara orang-orang dan anak-anak desa kami, sehingga mereka juga dapat mengabarkan firman Tuhan dan hidup dengan iman yang kuat seperti aku."
Perwakilan kami di Pakistan menerima sebuah surat terima kasih dari S atas pertolongan yang diberikan. Ia menulis, "Aku bersyukur kepada Tuhan yang memberikanku hidup baru. Ia menyelamatkan aku dari semua masalah. Keluargaku dan aku sangat mengasihi Allah, dan kami rindu semua orang di desaku berkumpul dan berdoa bersama. Kami akan mengabarkan firman Tuhan di mana pun di bagian dunia ini." Mari ingatlah S dan orang-orang yang hidup seperti mereka -- menderita karena iman mereka di Pakistan. Marilah kita semua berseru memohon pertolongan Tuhan untuk menjaga dan memberi kekuatan kepada mereka.
Diambil dari: | ||
Judul buletin | : | Kasih Dalam Perbuatan, edisi Mei -- Juni 2009 |
Penulis | : | Tidak dicantumkan |
Penerbit | : | Yayasan Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya |
Halaman | : | 3 -- 5 |
- Printer-friendly version
- Login to post comments
- 7285 reads