You are heree-JEMMi No.30 Vol.12/2009 / Sekalipun di Bawah Kolong

Sekalipun di Bawah Kolong


Suatu hari ketika masih kelas 1 SMP, Dewi mendengar orang-orang Kristen menyanyikan lagu puji-pujian di sebuah rumah yang dikunjunginya. Muncul rasa ingin tahunya akan kekristenan. Di sekolah agama lain, ia diajar bahwa ajaran orang Kristen itu salah dan Yesus tidak mati di salib, itu juga menambah rasa ingin tahunya. Ada sebuah ayat yang menarik perhatiannya, yaitu "Kata Yesus: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku." Dewi mulai rajin membaca Alkitab dan mendapati tentang kasih dan hal-hal yang bertolak belakang dengan apa yang telah diajarkan kepadanya selama ini. Imannya makin teguh, Dewi memutuskan untuk dibaptis sebagai langkah iman penyerahan hidupnya kepada Tuhan.

Keluarganya belum ada yang tahu kalau ia sudah menjadi Kristen. Setiap kali ke gereja Dewi beralasan pergi ke rumah teman atau jalan-jalan ke kota. Kadang-kadang Dewi masih menjalankan perintah agama sehingga tidak ada yang menaruh curiga kepadanya. Namun, lama-lama hatinya tidak tenang untuk berpijak pada dua tempat yang berbeda. Kebetulan, sekolah Dewi pindah dari Mj ke Mk dan harus tinggal di rumah bibinya. Ia sering bertanya kenapa Dewi tidak pernah menjalankan perintah agama. Dewi merasa tidak nyaman dan ingin bebas menentukan iman percayanya. Untunglah istri pak Kar menawarinya untuk tinggal bersama mereka. Dewi tinggal bersama mereka selama 2 tahun sampai tamat SMP. Ketika akan naik ke SMU, Dewi pindah lagi ke Mj.

Berita tentang iman barunya makin menyebar di sekolah. Wali kelas dan guru BP memanggilnya ke kantor. Mereka bertanya kepada Dewi, "Mengapa kamu menjadi Kristen? Kristen itukan salah jalannya. Apa kamu diberi uang untuk menjadi Kristen?" Dewi menjawab, "Aku percaya Yesus karena Ia sanggup menyelamatkanku dari api neraka. Yesus mencintaiku. Aku menjadi Kristen karena hati nuraniku, bukan karena uang." Mereka bertanya tentang banyak hal yang menyudutkan kekristenan. Dewi memberikan penjelasan atas setiap pertanyaan yang diajukan. Mereka bertanya, "Bagaimana mungkin Yesus membawa manusia kepada Tuhan?" Dewi menjawab, "Hal itu sangat mungkin terjadi, apalagi di kitab sucinya juga tertulis bahwa Tuhan itu Mahakuasa, sanggup melakukan apa saja. Jadilah maka akan terjadi. Kuasa Allah lebih besar daripada pikiran rasional manusia." Teman-teman perempuannya yang sebenarnya Kristen mengikuti jejaknya. Akhirnya sekolah mengizinkannya untuk tidak mengikuti pelajaran agama lain. Dewi mendapatkan pelajaran agama dari pendeta setempat. Semakin banyak teman sekolah yang mempergunjingkannya. Akhirnya, keluarganya menjadi tahu. Awalnya keluarganya tidak percaya kalau Dewi sudah menjadi Kristen.

Pada suatu hari, tepatnya hari Minggu sepulang dari gereja, Dewi diseret untuk diinterogasi. Ada dua belas orang menyidangnya di dalam kamar, di antaranya orang tuanya, nenek, bibi, paman, kakak, sepupu, dan tetangga. Dewi mengakui bahwa dirinya sudah menjadi seorang Kristen. Dewi disuruh membaca pengakuan iman dan berserah. Dewi menolak. Mereka berkata, "Kami heran kenapa kamu bisa menjadi Kristen padahal dalam garis keturunan kita tidak ada yang Kristen. Memangnya kamu diberi mobil, rumah, atau harta?" "Tidak, aku percaya Yesus karena Ia menyelamatkanku," katanya. "Mana aku lihat kitabmu" pinta mereka. Sementara itu Dewi berdoa dalam hati. Bibi dan kakaknya menemukan kata Yesus Kristus dan bertanya apa itu artinya. Dewi menjelaskan bahwa Dialah yang menyelamatkannya. Mereka berniat membakar Alkitab itu. Pamannya berkata, "Percuma Alkitabnya dibakar kalau kata-katanya sudah tersimpan di dalam hatinya." Dewi terus disudutkan tetapi ia selalu memberi penjelasan dengan sabar. Ibunya sedikit menyerah dengan berkata, "Ya sudahlah, kalau memang itu kemauannya asalkan dia jangan sampai terjerumus pada hal-hal yang merusak seperti narkoba."

Malamnya Dewi disidang lagi oleh kakak iparnya yang adalah seorang tokoh agama. Sebuah kata menyakitkan diberikan padanya, "Kami tidak akan mengakuimu lagi sebagai saudara, dan jangan lagi menginjakkan kakimu di rumah ini." Paman dan bibi mengusirnya. Ibunya membela tetapi paman dan bibinya berkata bahwa itu adalah rumah keluarga, mereka berhak mengusirnya. Dewi pun pergi dari rumah dan ditampung lagi di rumah pak Kar. Suatu saat pada hari raya, Dewi datang mengunjungi keluarganya untuk memelihara hubungan kekeluargaan. Bibi dan saudaranya mengajaknya ke dapur. Mereka berkata, "Kamu itu telah mencoreng nama baik keluarga." Dewi menjawab, Aku akan mencoreng nama baik keluarga jika aku mencuri atau melakukan perbuatan yang tidak baik." Mereka berkata bahwa amal perbuatan yang membuat kita masuk surga, demikian juga sering berdoa akan menolong kita saat kita melewati jembatan yang lurus. Dewi berkata, "Bukan 'tempat ibadah' atau gereja yang menyelamatkan kita, tapi Yesuslah yang telah menjadi jembatan itu bagi umat manusia."

Mereka marah dan menamparnya. Mereka berkata, "Kami ini berusaha membawamu ke jalan yang benar" Dewi berkata, Aku sudah di jalan yang benar". Mereka sudah tidak tahan dan mengusirnya. Dewi berkata bahwa biarpun ia hidup di mana saja yang penting ia dekat dengan Tuhan. "Meski di bawah jembatan?" tanya mereka. "Ya, di kolong jembatan sekalipun," jawabnya. Dengan penuh emosi mereka menyuruhnya membaca pengakuan iman dan ayat-ayat. Dewi menolak. Lalu mereka mengambil air yang telah didoakan dan memaksanya untuk meminumnya. Dewi mau menerima air itu karena Dewi percaya kuasa Tuhan di atas segalanya, lalu Dewi berdoa, "Tuhan, Engkau menyucikan air ini dan kuasa Roh Allah mengatasi kuasa dari doa-doa atas air ini." Mereka marah mendengar doanya, lalu mengambil air lainnya dan memercikkannya ke wajah Dewi sambil komat-kamit. Dewi berdoa lagi, "Biarlah Roh Kudus yang mengurapiku dengan kuasa-Nya." Mereka heran mendengar kata Roh Kudus dan bertanya, apa itu Roh kudus?" Dewi menjelaskan tentang Roh Kudus. Mereka kewalahan dan berkata, "Sudahlah kamu tidak mau diobati. Pergi saja sana." Lalu mereka menampar mukanya sekali lagi. Saking kerasnya, kepalanya membentur dinding. Suasana saat itu sangat heboh sehingga orang-orang yang lewat di depan rumahnya berhenti untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Di sekolah, teman-teman yang mau bergaul dengannya ikut dikucilkan. Suatu saat kepala sekolahnya diganti yang baru. Dewi mengira mungkin ia lebih nasionalis, tapi sebaliknya. Saat upacara bendera, banyak diiringi membaca ayat-ayat dari kitab suci. Di sekolah, teman-teman yang memiliki masalah mulai berdatangan kepadanya untuk meminta nasihat. Dewi menganjurkan mereka untuk berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah yang hidup. Ada juga sebagian teman yang menghindarinya. Beberapa teman mengolok-oloknya dengan kata-kata "haleluya" atau "ada Yesus lewat". Dewi merasa bangga karena mereka menyebut nama Yesus dan berkata haleluya, karena haleluya artinya Puji Tuhan. Kadang-kadang mereka membaca ayat-ayat kitab suci yang spesial digunakan untuk mengusir setan ketika Dewi berada dekat dengan mereka. Dan mereka pun tertawa terbahak-bahak. Teman-temannya makin heran karena Dewi tidak marah dan tetap tersenyum.

Teman-temannya tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang Yesus dari sisi orang Kristen yang benar. Dewi tahu konsekuensinya, jika pada akhirnya ada yang sentimen berlebihan padanya, ia mungkin akan dikeluarkan dari sekolah. "Saya tidak takut," katanya. Dewi tidak akan berhenti bersaksi tentang kasih Allah karena Dewi ingin semua teman-temannya diselamatkan. Toh, Yesus tidak pernah mengajarkan pemaksaan untuk mengikuti-Nya, atau untuk harus tetap mengikuti-Nya. Sebenarnya Dewi merasa sedih karena jauh dari orang-orang yang dikasihinya, tetapi Dewi tidak mau kehilangan Yesus. Dewi masih bisa bersukacita karena memiliki keluarga baru di dalam Tuhan. Dewi akan terus mencintai Yesus sampai mati. "Tidak ada sesuatu apapun yang bisa memisahkanku dari kasih Kristus. Tidak ada," katanya. Dewi sangat suka perkataan Yesus dalam Yohanes 10:11, "Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya." Dewi rindu suatu saat nanti semua keluarganya diselamatkan dan hidup dalam kebenaran.

Diambil dari:

Judul buletin : Kasih Dalam Perbuatan (KDP), Edisi Juli -- Agustus 2004
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Yayasan Kasih Dalam Perbuatan, Surabaya 2004
Halaman : 9 -- 10