You are herePARA MARTIR di LYON DAN VIENNE TAHUN 177
PARA MARTIR di LYON DAN VIENNE TAHUN 177
Dari: hamba-hamba Kristus sebagai pendatang dan perantau di Vienne dan Lyon,
Kepada: saudara-saudara seiman di Asia dan Frigia yang seiman dan sepengharapan dengan kami dalam penebusan Kristus.
Damai sejahtera, kasih karunia dan kemuliaan dari Allah Bapa dan dari Kristus Yesus, Tuhan kita.
Sebenarnya kami tidak sanggup, bahkan kekuatan pena dan tinta tidak cukup, untuk menyatakan kedahsyatan dari penganiayaan yang telah kami alami di sini. Amarah orang-orang kafir terhadap orang-orang suci sangat melampaui batas, sehingga tidak terungkapkan penderitaan para martir yang bahagia itu. Musuh telah menyerang dengan sekuat tenaga dan memberikan kami suatu cicipan terlebih dulu tentang bagaimana kedatangannya kelak, bila ia muncul tanpa ada yang menahan dia. Ia tidak meninggalkan sesuatu pun yang tidak diusahakan guna melatih dan membiasakan pengikut-pengikutnya untuk melawan hambahamba Allah. Begitu hebatnya sehingga kami bukan hanya dilarang muncul di gedung-gedung umum, di permandian-permandian umum dan di pasar-pasar pun mereka malah melarang kami untuk hadir di mana saja.
Namun demikian, kasih karunia dari Allah menjadi Pemimpin di pihak kami untuk menyelamatkan yang lemah dan untuk membariskan sokoguru-sokoguru yang kokoh terhadap musuh. Dengan daya tahan yang luar biasa mereka itu berhasil memfokuskan serangan si jahat kepada diri mereka sendiri. Mereka maju berperang dan menanggung setiap jenis penghinaan dan hukuman. Mereka menganggap enteng kesusahan yang mereka alami, sambil menuju Kristus dengan cepat. Sesungguhnya, mereka membuktikan "bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita."
Pada mulanya, waktu huru-hara mulai berkobar, mereka dengan penuh wibawa menanggung serbuan-serbuan yang dilancarkan orang banyak terhadap mereka termasuk teriakan-teriakan, pukulan, tuduhan, perampasan dan pemenjaraan -- pendeknya, apa saja yang biasa dilakukan oleh gerombolan orang banyak kalau mengamuk terhadap musuh dan seterunya. Sesudah itu mereka digiring ke pusat pasar oleh tribune dan pegawai-pegawai kota yang lain untuk diusut di depan orang banyak. Di sana mereka memberi kesaksiannya, lalu mereka dilemparkan ke dalam penjara sampai gubernur tiba.
Kemudian, bila mereka dihadapkan kepada gubernur, beliau memakai segala macam siasat yang biasa maupun yang biadab terhadap kami. Melihat itu, maka Vettius Epagathus, seorang saudara yang terkenal karena kasih akan Allah dan sesamanya, tampil ke depan. Budi pekertinya telah mencapai suatu tingkat kesempurnaan sehingga, walaupun ia masih muda, namanya harum di mana-mana ... Ia itu tidak tahan melihat kami kena hukuman yang tak beralasan itu. Ia sangat marah dan minta izin agar ia sendiri menjadi pembela saudara-saudara kita. Ia memang mau menyangkal tuduhan bahwa kita menganut kepercayaan ateis atau menghujat. Akan tetapi, orang-orang yang mengelilingi meja hijau itu mulai menyoraki dia (ia memang terkenal dalam masyarakat), dan gubernur menolak permohonan yang wajar yang telah diajukannya.
Sebaliknya gubernur hanya bertanya satu hal saja: apakah ia juga seorang Kristen. Vettius mengaku imannya dengan suara yang tegas. Demikianlah ia ikut memperoleh warisan yang dijanjikan kepada orang yang mati syahid. Ia memang dicap "pembela orang-orang Kristen", dan sesungguhnya ia memiliki Sang Pembela di dalam dirinya, yaitu Roh ... sehingga ia berkenan menyerahkan nyawanya guna melindungi saudara-saudaranya. Ia adalah murid Kristus yang sebenarnya, yang "mengikut Anak Domba ke mana saja Ia pergi". Mulai dari saat itu terjadi suatu pemisahan di antara saudara-saudara kita. Sebagian dengan penuh semangat siap siaga untuk ikut mati syahid dan dengan demikian menggenapi pengakuannya.
Akan tetapi, ada sebagian lain lagi yang belum siap, kurang terlatih dan masih lemah, sehingga mereka tidak sanggup bertahan dalam perjuangan yang hebat itu. Kira-kira sepuluh orang gugur imannya. Mereka menyebabkan kami menderita kesusahan hatiniah dan perkabungan yang tidak terukur. Contoh buruk yang mereka berikan itu melemahkan semangat dari saudara-saudara yang belum ditangkap, yang masih aktif melayani keperluan-keperluan para bakal martir. Syukurlah pelayanan itu tidak sampai dihentikan. Sebenarnya kami semua telah merasa takut sekali akibat ketidaktentuan mengenai pengakuan iman. Bukan karena kami takut akan hukuman-hukuman yang dijatuhkan, melainkan kami menatap ke pokok persoalan -- kami gemetar kalau-kalau ada yang murtad. Akan tetapi, orang-orang yang layak untuk itu turut ditangkap hari demi hari sampai genaplah jumlahnya. Dari kedua jemaat semua anggota yang rajin dikumpulkan, yaitu mereka yang telah meneguhkan kedudukan gereja di daerah ini.
Beberapa budak kafir dari keluarga-keluarga Kristen turut ditangkap, sebab gubernur telah mengeluarkan Surat Keputusan bahwa kami semua harus diburu. Gara-gara jerat Iblis dan ketakutan yang mereka rasakan (mereka telah menyaksikan penganiayaan terhadap orang-orang suci) maka budak-budak itu latah dan menuruti saran-saran para serdadu. Akibatnya mereka ikut melemparkan tuduhan-tuduhan palsu, bahwa kami suka berpesta secara Thyestius dan bersetubuh secara Oedipodeus. Malah termasuk tuduhan yang tidak boleh kami ucapkan atau pikirkan -- hal-hal yang tidak masuk akal pernah dilakukan oleh manusia mana pun! Tetapi, desas-desus itu terus tersebar sehingga seluruh rakyat gusar atas kami. Mereka yang dulunya bertindak dengan ketertiban karena bersahabat, sekarang mulai mengamuk dan sangat tersinggung terhadap kami ...
Mulai dari saat itu martir-martir yang suci itu menderita penindasan yang tidak terungkapkan. Iblis berusaha sekuat tenaga untuk memaksa agar mereka mengaku bahwa sebagian dari fitnahan itu benar. Kegeraman orang banyak, gubernur dan serdadu-serdadu tertimpa kepada Sanctus, diaken dari Vienne, kepada Maturus, seorang pejuang yang belum lama ini menerima baptisan, kepada Attalus yang berasal dari Pergamos, di mana ia merupakan "tiang penopang dan dasar kebenaran" di jemaat, dan kepada Blandina, seorang budak perempuan yang dipakai oleh Kristus untuk menunjukkan bahwa hal-hal yang terpandang hina, remeh dan jelek menurut pandangan manusia, adalah layak untuk kemuliaan besar menurut pandangan Tuhan.
Blandina mengasihi Tuhan sedemikian rupa sehingga kasihnya terwujud dalam kuasa dan bukan dalam hal yang lahiriah saja. Karena waktu kami semua merasa takut, dan nyonya yang empunya Blandina (yang juga terhitung sebagai pejuang dalam barisan martir) sangat menderita kalau-kalau ia tidak sanggup tahan sampai kepada pengakuan yang agung, maka Blandina menjadi teladan kami.
Ia dipenuhi dengan kuasa yang sedemikian hebat, sehingga algojo-algojo yang menyiksa dia dari fajar sampai senja secara bergiliran menjadi capek dan kehabisan tenaga. Mereka terpaksa mengaku diri kalah, sebab tidak ada cara penyiksaan lagi yang belum dicobanya. Mereka semua heran bahwa masih ada semangat dalam tubuh yang begitu remuk dan daging di mana begitu banyak luka menganga. Biasanya satu cara siksaan saja sudah cukup untuk membunuh orang, padahal saudari Blandina menanggung pelbagai cara yang sadis sepanjang hari. Perempuan yang bahagia itu, seperti pahlawan yang gagah, terus-menerus memperbarui kekuatannya dengan mengaku, "Saya Kristen, dan tidak ada kejahatan kepada kami!" Dengan itu ia kembali segar dan tenang, dan tidak merasakan siksaan.itu lagi.
Tentang Sanctus, ia juga bertahan sebagai ksatria, dengan keberanian yang melampaui kekuatan manusia. Semua siksaan yang dapat dilaksanakan oleh tangan manusia telah diusahakan terhadap dia. Orang-orang jahat telah mengharap bahwa akibat siksaan-siksaan yang dahsyat dan terus-menerus itu maka ia akan mengucapkan sesuatu hal yang tidak pantas. Tahu-tahu Sanctus menyusun kesaksiannya dalam kesatuan tempur terhadap mereka dengan tekun. Ia tidak mau menyebutkan namanya, atau bangsanya, atau kota asalnya, bahkan apakah ia merdeka atau budak. Setiap pertanyaan dibalasnya dalam bahasa Latin, "Saya Kristen." Itu dinyatakannya berkali-kali, mengganti nama pribadi, kota, bangsa dan semua yang lain. Orang-orang kafir tidak dapat mendengar sepatah kata pun keluar dari mulutnya selain dari perkataan tersebut.
Sebab itu, gubernur dan algojo-algojo melipatgandakan siksaan terhadap dia. Karena tidak ada lagi cara lain yang belum mereka coba, maka mereka melekatkan lempeng-lempeng tembaga yang berpijar pada bagian-bagian badannya yang paling peka. Sekalipun anggota-anggota badannya hangus, Sanctus sendiri kokoh dan tidak kenal mundur dari pengakuannya. Laksana embun ia disegarkan dan dikuatkan oleh aliran air hidup yang bersumber pada hati Kristus. Akan tetapi, ditinjau dari segi jasmani tubuhnya yang memilukan adalah saksi mengenai siksaan yang telah dilewatinya -- keseluruhan berupa satu luka dan bilur besar yang sudah kehilangan bentuk manusia. Di dalam tubuh itu Kristus menderita dan mengerjakan banyak keajaiban. Ia meniadakan musuh dan memberi contoh kepada orang-orang Kristen yang lain, bahwa tidak ada alasan untuk merasa takut di mana kasih Bapa ada, dan tidak ada rasa sakit di mana kemuliaan Kristus ada.
Sesudah beberapa hari orang-orang jahat itu kembali menganiaya sang martir. Mereka sangka bahwa jika siksaan diulangi pada anggota-anggota badan yang begitu meradang dan bengkak (ia memang tidak tahan disentuh) dengan alat-alat yang sama, maka mereka tentu mengalahkannya. Atau sedikit-dikitnya ia akan mati waktu disiksa. Dengan demikian, orang-orang Kristen yang lain akan merasa ngeri dan gemetar. Akan tetapi, justru sebaliknya yang terjadi. Bertentangan dengan harapan musuh, tahu-tahu tubuh Sanctus yang menyedihkan itu terbangun dan menjadi tegak oleh siksaan ulangan itu. Ia kembali seperti semula dan bisa memakai kaki dan tangan lagi. Demikianlah oleh kasih karunia Kristus, penyiksaan yang kedua itu ternyata bukan hukuman tetapi kesembuhan buat dia.
Iblis juga adalah salah seorang wanita yang telah menyangkal imannya. Dengan itu tentulah Iblis menyangka telah menelannya. Namun, Iblis belum puas dengan itu; ia mau memperalatnya pula sebagai pemfitnah; dengan jalan itu hukumannya tentu bertambah berat. Biblis memang rapuh imannya dan dicekam oleh rasa ngeri. Dan iblis membawa dia ke dalam siksaan, agar ia mengiakan fitnahan terhadap kami. Akan tetapi, pada waktu disiksa Biblis kembali waras, seolah-olah bangun dari tidur yang terbius. Siksaan yang sementara itu mengingatkannya akan hukuman kekal di dalam neraka. Dari itu, ia mulai berbantah dengan algojo-algojo, "Masakan orang-orang Kristen makan anak-anaknya, padahal darah binatang pun mereka tidak mau makan!" Lantas ia mengaku diri Kristen dan ikut mendapat bagian dalam warisan martir.
Jadi, alat-alat siksaan dari penguasa kejam itu ternyata digagalkan oleh Kristus melalui ketabahan orang-orang bahagia. Oleh karena itu, iblis mulai menciptakan alat-alat baru: pengurungan di dalam penjara di gua yang paling gelap, menjijikkan dan pengap; kaki-kaki terkangkang di dalam pasung sampai pada lobang yang kelima --pendeknya segala macam penganiayaan yang biasanya dilakukan oleh kaki tangan iblis kalau mereka kerasukan dan mengamuk karena didalangi oleh tuannya. Memang kebanyakan dari saudara kita itu mati megap-megap, akibat kekurangan udara di penjara, yaitu seberapa banyak yang ditentukan oleh Tuhan untuk menyatakan kemuliaan-Nya dengan menempuh jalan itu.
Sebagian disiksa secara sadis sehingga diduga orang bahwa dengan perawatan yang terbaik pun mereka tidak bisa lagi hidup. Namun ada yang tahan di dalam penjara tanpa pertolongan manusia, karena jiwa raganya dikuatkan terus-menerus oleh Tuhan. Bahkan mereka menganjurkan dan membesarkan hati saudara-saudara yang tersisa. Di pihak lain sebagian yang masih muda, yang badannya belum pernah kena siksaan, ternyata tidak bisa menahan kesulitan-kesulitan kurungan. Mereka meninggal dunia di dalam penjara.
Tentang Pothinus yang bahagia yang telah lama menjabat sebagai bishop di Lyon, ia berusia lebih dari 90 tahun. Walaupun sangat lemah jasmaninya sehingga ia hampir-hampir menghembuskan nafas terakhir, namun karena kerinduannya yang amat kuat untuk mencapai mahkota martir, maka ia dipenuhi dengan daya baru yang datangnya dari "roh penurut". Ia juga dihadapkan ke pengadilan. Badan yang lemah karena umur dan penyakit itu tetap mempertahankan nyawa, supaya melalui itu Kristus menang. Ia dikawal oleh serdadu-serdadu, dihantar berduyunduyun oleh pemimpin-pemimpin kota beserta orang banyak yang meneriaki dia seolah-olah dia Kristus sendiri. Demikianlah ia mengikrarkan ikrar yang baik. Waktu diusut oleh gubernur tentang siapakah Allah orang Kristen, maka Sang Bishop menjawab, "Jika Bapak layak, Bapak nanti mengenal-Nya." Akibatnya ia diserang tanpa belas kasihan. Ia dipukuli; yang terdekat dengan dia mencaci-maki sambil memukul dan menyepak; yang lebih jauh melemparinya dengan apa-apa yang dapat mereka ambil, seolah-olah takut ketinggalan kalau ia tidak berbuat sejahat-jahatnya. Dorongan yang sebenarnya ialah untuk membalas dendam atas nama ilah-ilah mereka. Jadi, dalam keadaan setengah mati, Bapak Pothinus dilemparkan ke dalam penjara dan sesudah dua hari ia menyerahkan rohnya, lalu mati.
Lantas, betul-betul terjadi suatu ketentuan yang hebat dari Allah. Kemurahan Kristus yang tidak terhingga itu dinyatakan dengan cara yang jarang dilihat oleh persaudaraan kita, tetapi yang tidak di luar jangkauan kasih karunia Kristus. Mereka yang telah ingkar bila orang-orang Kristen mulai ditangkap itu turut dipenjarakan bersama-sama dengan orang-orang setia, dan turut menderita pula. Dalam perkara ini pengingkarannya tidak menolong sedikit pun. Sebaliknya, mereka yang mengaku imannya dipenjarakan atas tuduhan yang benar, yakni bahwa mereka Kristen, dan bukan atas tuduhan lain. Akan tetapi, yang murtad itu ditahan sebagai pembunuh dan penjahat. Mereka disiksa dua kali lipat daripada orang-orang setia.
Di satu pihak beban yang ditanggung oleh pengaku-pengaku tentu diringankan oleh sukacita martir, oleh harapan atas janji-janji Tuhan, oleh kasihnya kepada Kristus dan oleh Roh Bapa. Di pihak yang satu lagi mereka yang telah ingkar disiksa oleh suara hatinya sendiri. Dari air muka saja telah kentara keistimewaan kaum pengaku, karena mereka keluar dengan sukacita, kemuliaan besar dan kasih karunia yang tampak pada wajahnya. Malah rantai-rantai pun bergantung padanya seperti perhiasan yang indah -- bagaikan pengantin perempuan yang "pakaiannya berpakankan emas, dengan pakaian bersulam warna-warni" dan "bau yang harum dari Kristus". Bahkan ada orang yang menyangka mereka telah diminyaki dengan minyak wangi! Sebaliknya mereka yang murtad itu merasa sedih, putus asa, jelek dan tertimpa perasaan malu. Orang-orang kafir pun mencaci-maki mereka, sebab mereka hina dan penakut, terdakwa sebagai pembunuh dan kehilangan nama satu-satunya yang mulia, yang berharga dan yang memberi kehidupan. Melihat kenyataan itu orang-orang Kristen yang kemudian ditangkap langsung mengaku imannya dengan terus terang, tanpa bimbang dan tidak menghiraukan pencobaan Iblis ...
Sesudah itu kematian-kematian orang setia meliputi segala cara pembunuhan. Mereka mengaryam suatu mahkota yang tunggal dari pelbagai bunga warna-warni untuk diberikan kepada Bapa. Karena itu, sebagai juara-juara yang telah bertahan dalam perjiiangan yang beraneka ragam dan hebat, mereka layak pula menerima mahkota yang tidak pernah layu.
Maturus, Sanctus, Blandina dan Attalus dibawa keluar untuk berjuang dengan binatang buas. (Satu hari telah diperkenankan untuk memuaskan selera biadab orang-orang kafir, di mana kami khusus dipertontonkan melawan binatang ganas.) Jadi, di stadion Maturus dan Sanctus sekali lagi menempuh setiap macam siksaan, seakan-akan mereka belum menderita apa-apa, atau lebih tepat, seolah-olah mereka telah mengalahkan setiap lawan dalam babak penyisihan, sampai hanya tinggal perjuangan terakhir untuk meraih mahkota sendiri. Sekali lagi mereka dipaksa lewat antara dua deretan pencambuk sebagaimana kebiasaan di sini; mereka diseret oleh binatang buas, mereka menanggung semua yang dituntut oleh teriakan-teriakan penonton yang mengamuk -- sebelah sini balas-membalas dengan sebelah sana. Pada akhir sekali adalah kursi besi yang menggoreng daging dan mencekik nafas dengan asapnya. Dengan itu pun orang-orang kafir tidak mau berhenti; sebaliknya mereka semakin mengamuk dan meningkatkan tekadnya untuk mengalahkan ketabahan orang Kristen. Namun begitu tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Sanctus selain dari pengakuan yang telah diucapkannya dari semula. Jadi kedua orang itu, yang nyawanya telah bertahan sepanjang hari dalam perjuangan yang hebat, akhirnya dikurbankan. Sepanjang hari mereka "telah menjadi tontonan bagi dunia", mengganti pertunjukan satu lawan satu yang biasa pada hari pertempuran gladiator.
Tentang Blandina, ia digantung pada tiang supaya dimakan oleh binatang-binatang buas yang telah dilepaskan ke dalam stadion. Hanya memandang dia saja -- yang tergantung seolah-olah disalib sambil berdoa dengan asyik -- maka mereka yang turut berjuang mendapat dorongan baru untuk mengikuti teladannya. Dalam perang masing-masing mereka dengan mata kepala sendiri melihat saudarinya bagaikan Kristus yang telah disalibkan buat mereka. Seakan-akan Kristus mau meyakinkan mereka yang percaya dan menderita demi kemuliaan-Nya, bahwa mereka akan menikmati persekutuan yang tak terputus dengan Allah yang hidup.
Oleh karena tidak ada seekor pun dari binatang-binatang buas yang menyentuh dia pada hari itu, maka Blandina diturunkan dan dilemparkan kembali ke dalam penjara. Tentu ada maksud Tuhan dalam memelihara hamba-Nya, yaitu supaya ia menjadi pemenang dalam pertempuran-pertempuran yang berikut. Dengan demikian, hukuman Allah atas "si ular yang melingkar" dikokohkan. Sekaligus ia dapat membesarkan hati saudara-saudaranya -- ia seorang yang kecil, lemah dan terhina, tetapi yang telah mengenakan Kristus, Pahlawan yang agung dan perkasa. Ia itu yang dulu mengalahkan musuh-Nya ronde demi ronde, sehingga akhirnya Ia dimahkotai dengan mahkota yang tidak fana.
Tentang Attalus, ia juga dituntut oleh teriakan para penonton supaya dihadapkan (ia memang terkenal). Jadi, ia masuk stadion sebagai pejuang yang siap sedia: suara hatinya murni; ia telah melatih dirinya sendiri dalam disiplin Kristen; ia mewujudkan kebenaran di tengah-tengah kami dengan kesaksian yang konsekuen. Ia dihantar keliling stadion, didahului dengan papan yang bertuliskan dalam bahasa Latin: Inilah Attalus, orang Kristen itu. Amarah rakyat meluap-luap karena kebencian terhadapnya. Akan tetapi ketika gubernur mendengar bahwa ia warga negara Roma, maka ia memberi perintah supaya Attalus dikembalikan ke penjara.
Ada beberapa saudara kita tertahan di sana yang menunggu surat keputusan mengenai hukumannya dari Kaisar. Masa menunggu itu ternyata bukan tidak berbuah, karena melalui ketabahan mereka belas -- kasihan Kristus itu diwujudkan. Oleh pelayanan orang hidup maka orang mati dihidiipkan. Yang bakal martir mengampuni yang bukan martir. Hasilnya, Ibu Perawan bersukacita menerima kembali anak-anak yang telah gugur dari rahimnya -- tahu-tahu masih hidup! Oleh pelayanan saudara-saudara itu kebanyakan yang telah murtad dilahirkan ulang. Mereka kembali ke rahim rohani, dihembus oleh nafas Roh sampai menyala lagi. Mereka belajar mengaku imannya. Dengan penuh kehidupan dan semangat baru mereka datang menghadap pengadilan. Perkaranya dijadikan manis oleh Allah, yang "tidak berkenan kepada kematian orang fasik", tetapi menunjukkan kemurahan-Nya kepada orang yang bertobat. Ketika mereka diusut kembali oleh gubernur, tahu-tahu surat balasan dari Kaisar berbunyi: Orang-orang Kristen harus disiksa sampai mati, tetapi yang menyangkal Kristus dapat dilepaskan!
Bertepatan dengan penganiayaan itu festival nasional akan dibuka pula. Kebanyakan yang hadir adalah pendatang dari semua suku di daerah itu. Agar mengesankan orang banyak itu gubernur menyuruh supaya saudara-saudara yang bahagia dikawal dalam arak-arakan ke ruangan pengadilan. Itulah sebabnya ia mengulangi pengusutan. Mereka yang agaknya memiliki kewarganegaraan Roma dihukum penggal kepala; yang lain kena hukuman diterkam binatang-binatang buas. Ternyata bahwa Kristus dimuliakan secara luar biasa di dalam mereka yang tadinya ingkar. Melawan semua yang diharapkan oleh orang-orang kafir, mereka sekarang mengaku diri Kristen. Sebenarnya mereka diberikan kebebasan untuk saling mengusut di muka umum -- disangka orang itu akan mendahului pembebasannya! Akan tetapi, mereka turut terdaftar sebagai ahli waris para martir.
Jadi, dari mereka yang tadinya murtad hanya beberapa orang saja tinggal di luar, yang tidak menunjukkan tanda iman apa pun. Mereka itu tidak memberi bukti bahwa mereka pernah mengenakan "jubah pesta perkawinan" atau bahwa mereka peduli dan takut akan Allah. Sebaliknya orang-orang itu menghujat jalan keselamatan dengan gaya hidupnya dan membuktikan diri anak-anak durhaka, padahal semua yang lain kembali ditambahkan kepada Gereja.
Sewaktu saudara-saudara diusut, seorang Frigia yang bernama Alexander, profesinya sebagai dokter, berdiri dekat dengan meja hijau. Ia telah lama tinggal di propinsi-propinsi Gallia dan terkenal karena kasih kepada Allah dan keberaniannya untuk menyatakan Firman Allah. (Ia sebenarnya tidak kekurangan karunia rasuli) Dengan isyarat-isyarat tertentu ia membesarkan hati orang-orang terdakwa itu supaya mengaku imannya. Menurut orang-orang yang berkeliaran di sana, tampaknya seolah-olah ia "sakit bersalin".
Orang banyak mulai mengamuk ketika mereka mendengar orang-orang yang tadinya mengingkari imannya sekarang berpaling dan mengaku diri Kristen. Mereka mulai berteriak-teriak bahwa Alexander adalah biang keladi dari persekongkolan itu. Mendengar itu Gubernur memberi perintah agar ia dihadapkan, lalu beliau bertanya, "Siapakah engkau?" Ia menjawab, "Seorang Kristen!" Gubernur naik pitam dan menjatuhkan vonis bahwa ia harus mati diterkam oleh binatang buas.
Pada hari berikutnya Alexander dimasukkan ke stadion bersama-sama dengan Attalus. Oleh karena Gubernur mau menyenangkan orang banyak, ia telah memberi perintah bahwa Attalus juga harus diserahkan lagi ke binatang buas. Kedua saudara kita mengalami siksaan silih --berganti dengan setiap alat siksaan yang pernah diciptakan untuk menyakiti orang-orang hukuman. Setelah mereka bertahan dalam perjuangan yang hebat, akhirnya mereka turut dikurbankan seperti yang lain. Alexander tidak mengeluh atau mengerang melainkan bersekutu dengan Tuhan di dalam hatinya. Waktu Attalus dirantai pada kursi besi dan dibakar sampai asap mulai mengepul dari dagingnya, maka ia berseru dalam bahasa Latin, "Lihatlah, yang kamu lakukan ini betul-betul memakan manusia, tetapi kami tidak makan siapapun atau berbuat kejahatan yang lain!" Orang bertanya, "Siapakah nama Allah?" Attalus menjawab, "Allah tidak mempunyai nama seperti manusia."
Sesudah semuanya itu, pada hari terakhir untuk perjuangan satu lawan satu, Blandina dimasukkan lagi bersama-sama dengan Ponticus, seorang remaja kira-kira 15 tahun umurnya. Mereka berdua telah dibawa ke stadion pada hari-hari sebelumnya, agar menyaksikan penderitaan orang Kristen lain. Orang-orang kafir berusaha memaksakan mereka bersumpah demi berhala-berhalanya, tetapi Blandina dan Ponticus teguh dan tidak mau. Orang banyak mengamuk tanpa mempedulikan usia si pemuda dan jenis kelamin si perempuan. Dua-duanya diserahkan kepada setiap jenis kekejaman, sehingga mereka menjalani siklus penganiayaan berkali-kali. Namun begitu, tekad orang-orang kafir untuk memaksakan mereka bersumpah ternyata gagal juga. Kehendak Ponticus dikuatkan oleh saudarinya. Orang-orang kafir sendiri melihat bagaimana Blandina menganjurkan dan membesarkan hati si Ponticus. Akhirnya sesudah menanggung secara mulia segala macam siksaan, maka pemuda itu menyerahkan rohnya, lalu mati.
Tentang Blandina yang bahagia, ia bagaikan seorang ibu bangsawan yang telah lebih dulu menasihati dan memberangkatkan anak-anaknya dalam kemenangan kepada raja; kemudian ia sendiri menjejaki jalan pertempuran yang sama. Ia meringankan langkahnya menuju anak-anaknya dengan bersukacita dan bermegah pada waktu keberangkatannya. Ibarat ia diundang ke pesta perkawinan, dan bukan seperti orang yang dilemparkan kepada binatang buas.
Jadi sesudah didera, diterkam dan dibakar di dalam kuali besar, akhirnya ia dimasukkan ke dalam keranjang, menjadi umpan buat seekor banteng. Selama waktu yang tidak berapa lama banteng menyeruduknya, tetapi berkat harapan yang dihargainya serta pegangan pada pokok-pokok yang dipercayainya, maka Blandina tidak sadar lagi tentang kejadian-kejadian yang dialaminya. Persekutuannya dengan Kristus menggantikan kesakitan. Pada akhirnya ia juga dikurbankan. Orang-orang kafir pun heran dan harus mengaku bahwa mereka belum pernah melihat seorang perempuan yang menanggung siksaan begitu dahsyat seperti dia.
Namun begitu, kegilaan dan kebengisan mereka terhadap orang-orang suci belum terpuaskan juga. Suku-suku primitif dan biadab, kalau dirangsang dengan pertunjukan binatang ganas, tidak mudah diamankan kembali. Ternyata bahwa nafsunya untuk melakukan kekerasan yang sewenang-wenang terus mencari tempat penyaluran baru, dan diperoleh melalui jenazah-jenazah ... Gubernur dan rakyat bersatu menunjukkan kebencian yang tidak adil terhadap kami ... Sebenarnya jenazah-jenazah orang yang telah mati lemas di dalam gua penjara itu, dibuang kepada anjing dan dijaga siang-malam supaya tidak ada acara penguburan dari kami. Bagian-bagian yang sisa sesudah dimakan oleh binatang dan api, baik yang puntung maupun yang hangus, bersama dengan kepala-kepala dan batang-batang tubuh yang telah dipenggal --semuanya itu mereka kumpulkan juga. Itu dipertontonkan selama beberapa hari, serta dijaga oleh militer agar jangan kami kuburkan. Bahkan sebagian orang banyak ... mau membacoki jenazah-jenazah untuk menunjukkan rasa dengkinya. Orang-orang lain mengejek dan mencemoohkan sambil memuji-muji berhala-berhalanya. Katanya, orang-orang Kristen tertimpa hukuman ini oleh tangan dewa-dewi. Orang-orang lain lagi, yang lebih baik hati, agaknya menunjukkan perikemanusiaan dengan bertanya-tanya. "Di manakah dewa mereka? Apa gerangan untung yang mereka terima dari agamanya? 'Kan bodoh memilih kematian yang ngeri daripada melepaskan agama!'" Jadi, reaksi-reaksi orang-orang kafir itu bermacam-macam
.
Kami sendiri tenggelam dalam rasa putus asa, oleh karena kami tidak boleh menguburkan jenazah-jenazah. Dalam usaha kami untuk mengambil jenazah di malam hari ternyata tidak ada kesempatan, dan tawaran uang atau permohonan yang mendesak tidak berhasil. Dengan cara yang beraneka ragam mereka menjaga terus-menerus, seakan-akan mereka mendapat untung besar dari mencegah penguburan ... Jenazah-jenazah para martir dipamerkan dan dibiarkan terbuka terhadap cuaca selama enam hari. Kemudian sisa-sisa dibakar dan abunya dibuang ke dalam sungai Rhone yang mengalir dekat tempat itu. Maksudnya supaya jangan ditemukan bekas sedikit pun di atas bumi. Mereka berbuat demikian karena berpikir bahwa dengan jalan itu mereka dapat mengalahkan Tuhan dan mencegah kebangkitan daging. Mereka sendiri mengatakan,
"Jangan ada kiranya bagi orang-orang Kristen ini tersisa harapan sedikitpun akan kebangkitan daging. Justru harapan itu yang memberanikan mereka untuk memandang hina siksaan yang dahsyat dan menghadapi maut dengan sukacita. Karena ke percayaan itu mereka nekad memasukkan sekte yang aneh itu ke tengah-tengah kita. Tetapi, sekarang mari kita lihat apakah mereka dapat bangkit lagi, apakah ilahnya dapat menolong dan melepaskan mereka dari tangan kita."
Diambil dari:
Judul buku | : | Semakin Dibabat Semakin Merambat |
Judul Arikel | : | Para Martir di Lyon dan Vienne Tahun 177 |
Penulis | : | Ira C., Ph.D |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, 2001 |
Halaman | : | 36 -- 53 |
- novi's blog
- Login to post comments
- 4146 reads