Prinsip-Prinsip Kontekstualisasi

Istilah kontekstualisasi pertama kali dicetuskan oleh Aharon Sapaezian dan Shoki Coe, kepada direktur Theological Education Fund WCC pada tahun 1972. Karena menilai bahwa indegenisasi teologi (memaksa budaya lokal untuk menyesuaikan dengan budaya lain) tidak memadai, maka konsep kontekstualisasi diangkat untuk mengusahakan indegenisasi teologi dengan menerima input proses sekularitas, teknologi, serta pergumulan demi hak asasi manusia yang merupakan "The Historical Moment of Nations in the Third World".

Charles Taber (seorang penginjil) melihat kontekstualisasi sebagai "usaha memahami dengan serius setiap konteks kelompok manusia dengan segala dimensi budaya, agama, sosial, politik, ekonomi, untuk menemukan bagaimana Injil/cara Injil berbicara kepada mereka .../Injil dibawa/diberi bungkusan yang kontekstual".

James O. Buswell III (seorang Injili) mengusulkan 3 bidang cakupan kontekstualisasi.

  1. Kontekstualisasi orang yang menyampaikan/sumber kesaksian itu sendiri (Inculturation).
  2. Kontekstualisasi jemaat dan pemimpinnya (Indigenization).
  3. Kontekstualisasi firman (Trasnlation & Ethnotheology).

Pendekatan-pendekatan terhadap kontekstualisasi.

  1. Akomodasi Profetik (Prophetic Accomodation) -- Pihak Ekumenisme

    Menekankan pada peniruan terhadap Yesus dan para rasul. Wahyu tidak didapat dari dalam kitab suci, tetapi dari konteks sosial budaya. Wahyu tidak ditemukan dalam proporsi verbal suatu kitab, tetapi "in the pressure of the market place" atau dalam tekanan yang muncul dari objek yang dilayani (Hesselgrave).

  2. Akomodasi Sinkretistik (Syncretistic Accomodation) -- John Hick dan Beberapa Teolog Asia

    Pendekatan ini diusulkan WWC karena apresiasi agama-agama lain yang menyatakan bahwa pada dasarnya semua agama adalah sama. Isi kepercayaan iman agama lain diberi interpretasi kristologis ataupun memiliki makna kristologis. Kristus "terselubung" dalam iman agama lain.

  3. Akomodasi Apostolik (Apostolic Accomodation) -- Rata-Rata Orang Injili

    Menekankan sifat Injil yang suprakultural. Kontekstualisasi mencari implikasi-implikasi Injil yang sah dalam situasi tertentu. Implikasi yang memang dituntut Kitab Suci mengusahakan "penyuguhan" Injil yang menggunakan bahasa dan pola pikir daerah tertentu tanpa mengorbankan isi dan inti teks.

Faktor-faktor yang menimbulkan/menuntut kontekstualisasi.

  1. Dominasi Budaya

    Kesadaran bahwa misi barat bukan saja membawa Injil, melainkan juga menuntut adopsi budaya barat dalam proses misi mereka.

  2. Teologi Barat yang Tidak Relevan

    Istilahnya, agenda dan program yang dimasak di luar negeri telah disadari tidak cocok untuk situasi lain. Kegagalan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak ditanyakan di dunia ketiga.

  3. Gerakan-Gerakan Nasionalisme

    Kemerdekaan dari imperialisme dan kolonialisme negara-negara barat sekaligus membawa akibat nasionalisasi lembaga-lembaga, termasuk gereja.

  4. Contoh-Contoh Alkitab

    Kisah Para Rasul 15, Yerusalem mengusulkan kontekstualisasi trans-suku dengan menganjurkan agar orang-orang non-Yahudi menghindari praktik-praktik yang menghalangi terjangkaunya orang-orang Yahudi oleh Injil.

Situasi Asia yang kompleks.

  1. Teologi di Asia sedang mencari identitasnya.
  2. Kesulitan pengungkapan warna teologi Asia akibat ketergantungan dunia barat selama berabad-abad.
  3. Hampir semua agama lahir di Asia, sehingga banyak budaya identik dengan agama.
  4. George Peters, seorang misiologi Injil mengatakan bahwa agama-agama di Asia bersifat Agnostik (Allah itu tidak bisa dikenal), Relativistik (semua ajaran tidak absolut), Sinkretisme (setiap agama memiliki kebenaran yang terbatas), dan Pragmatis (cukup mengambil unsur-unsur yang berguna dari kepercayaan tertentu).

Tempat kelahiran agama-agama di Asia.

  1. Semitis: Judaisme, Kristen, Islam
  2. India: Hindu, Budha
  3. Cina: Konfusianisme, Taoisme
  4. Jepang: Shintoisme
  5. Korea: Shamanisme
  6. Persia: Zoroastrianisme

Isu-isu penting.

  1. Kontekstualisasi bukan hanya sekadar komunikasi, melainkan soal sifat hakiki Injil itu sendiri.
  2. Dalam lingkup tertentu, diskusi kontekstualisasi hanya terbatas pada sinkretisme.
  3. Kontekstualisasi berkaitan erat dengan tradisi dan "pembaruan" dalam gereja-gereja.
  4. Masalah adanya konflik antara teologi biblika dan teologi kontekstual.
  5. Mengingat bahaya sinkretisme, bahaya mereduksi isi Injil/wahyu untuk cocok dengan tuntutan budaya. Reformasi Luther merupakan penolakan atas suatu bentuk sinkretisme.
  6. Dari dalam negeri, terjadi bahwa ada kelompok yang ingin mempertahankan pola gerejawi yang memang hasil impor.
  7. Kegagalan membedakan isi Injil yang suprakultural dan bentuk ekspresinya dalam budaya tertentu.
  8. Keberhasilan dalam membedakan isi dan ekspresi yang kontekstual.

Cakrawala kontekstualisasi.

  1. Teolog sebagai individu mengusahakan kontekstualisasi.

  2. Komuni gereja yang berkontekstualisasi secara otentik 'K' merupakan tanggung jawab gereja lokal. Perlu dibedakan bahwa 'K' (berteologi) di Barat baru berlangsung jika dituangkan ke dalam tulisan, catatan kaki. Di dunia timur melalui cerita, simbol-simbol.
  3. Gereja yang melakukan ini mengasumsikan bahwa:

    1. Kebutuhan mereka dipenuhi Yesus.
    2. Jemaat itu merupakan badan yang bersaksi.
    3. Menerima aspek-aspek budaya yang berkenan kepada Yesus.
    4. Mengonfirmasi aspek budaya yang berbahaya bagi kesehatan iman.
  4. Gereja yang berkontekstualisasi seharusnya:

    1. Menganalisis diri: apakah memiliki karunia untuk itu.
    2. Mempelajari budaya: apakah budaya itu aktual/alkitabiah/melawan Alkitab.
    3. Menafsirkan firman: setia kepada isi berita.
  5. Kontekstualisasi yang sah (tanpa kehilangan sifat teologi biblika, Injil, dan relevan) harus mengeksegesis teks (wahyu) dan konteks (budaya)/atau bisa dengan istilah melakukan eksegesis terhadap firman (word) dan terhadap dunia (world). Yang terpenting bukanlah di mana kontekstualisasi itu, melainkan apa yang dikontekstualisasikan.

  6. Teolog Injili yang dilengkapi ilmu tafsir yang komplet dengan keyakinan akan wahyu yang tepat dan disertai pimpinan Roh Kudus, memang lebih peka terhadap teks dan konteks. Karena itu, mereka berkontekstualisasi teologia.

Prinsip-Prinsip Umum Kontekstualisasi

  1. Menjaga Keseimbangan

    Kuncinya adalah memelihara semacam keseimbangan. Jika tidak, maka kontekstualisasi akan menghadapi sejumlah masalah, baik yang bersifat teologis maupun praktis.

    1. Kontinuitas -- Diskontinuitas

      Kontinuitas dilakukan terhadap kebenaran mutlak dan kebudayaan yang masih relevan dengan masyarakat setempat. Dan, diskontinuitas dilakukan terhadap segala bentuk kontaminasi religi maupun tradisi.

    2. Missiologis -- Teologis

      Kontekstualisasi menghadapi pergumulan ganda, yaitu bagaimana Injil bisa diterima (Komitmen Missiologis) dan bagaimana Injil dijaga kemurniannya (Komitmen Teologis). Tetapi, sepertinya adanya kecenderungan berat sebelah, kehilangan keseimbangan. Kadang lebih cenderung ke komitmen teologis, kadang sebaliknya. Menekankan salah satu berarti hanya memenuhi salah satu panggilan Tuhan. Komitmen missiologis memenuhi Amanat Agung (Matius 28:19-20), sedangkan komitmen teologis memenuhi Ibadah Agung (Ulangan 5:7-10). Tekanan para misiologis saja melahirkan kompromis, sinkritis yang berakibat pada pelanggaran terhadap Ibadah Agung. Sebaliknya, tekanan pada teologis saja menyebabkan statis karena kontekstualisasi dan akibatnya tidak melaksanakan Amanat Agung sepenuhnya.

    3. Perbesaran -- Persamaan

      Sebagai komunitas baru, orang-orang Kristen memunyai cara hidup baru yang berpusat pada "Worldview" (Pandangannya) yang baru. Oleh orang-orang pada umumnya, kekristenan dilihat sebagai "cara hidup yang baru". Dengan kata lain, kekristenan menghapus persamaan dan melahirkan perbedaan antara non-Kristen dan Kristen. Perbedaan semacam itu perlu dipertahankan secara radikal sekalipun untuk kepentingan dua hal. Pertama, demi kemurnian Injil, dan yang kedua untuk memberi pilihan lain kepada individu non-Kristen. Jika tidak ada perbedaan, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk menjadi orang Kristen. Logikanya akan berkata, "Kalau ternyata sama, mengapa harus menjadi orang Kristen?" Dengan demikian, jelas bahwa perbedaan akan memberi pilihan dan tawaran baru bagi mereka yang belum Kristen.

    4. Kreatif -- Persuasif

      Dalam dunia penginjilan, kontekstualisasi bukanlah tujuan, melainkan cara yang dipakai untuk mencapai tujuan. Tujuan kontekstualisasi bukan supaya ada kontekstualisasi, melainkan supaya ada hasil penginjilan yang lebih besar. Agar hal itu terjadi, maka diperlukan kreativitas yang persuasif. Kreatif -- persuasif bagaikan dua sisi mata uang logam yang tidak bisa ditiadakan salah satunya. Kreatif berkenaan dengan pendekatan, sedangkan persuasif berkenaan dengan pemberitaan. Pendekatan tanpa pemberitaan bukan berarti penginjilan. Sedangkan pemberitaan tanpa pendekatan berarti sia-sia. Oleh sebab itu, kontekstualisasi yang menjaga keseimbangan kedua hal tersebut akan lebih banyak memberi harapan.

  2. Menjaga Kesinambungan

    Tujuan penginjilan kontekstual adalah pendirian gereja yang kontekstual. Sedangkan tujuan pendirian gereja yang kontekstual adalah penginjilan yang kontekstual dan begitulah seterusnya. Kurang dari itu bisa disebut ketidakseimbangan. Penginjilan kontekstual yang tidak menghasilkan gereja yang kontekstual, tidak akan melahirkan gereja baru yang kontekstual. Jika tidak ada gereja baru yang kontekstual, maka tidak akan ada penginjilan yang kontekstual. Sebab, jenis gereja baru yang ada ditentukan oleh jenis gereja lama yang sudah ada.

  3. Menguji Keabsahan

    Pertama, apakah kata Alkitab? Maksudnya untuk menghindari sinkritisme maupun teosentrisme, dan tetap pada posisi Kristusentris. Inilah dasar penilaian pertama. Kedua, apa kata kelompok sasaran? Sebagai kelompok sasaran, penilaian dan anggapan mereka terhadap suatu pendekatan harus benar-benar diperhatikan dan dipertimbangkan. Sebab, faktor inilah yang menjadi kunci penentu, apakah akhirnya mereka menerima atau menolak berita yang disampaikan. Ketiga, apa kata diri sendiri? Ini juga unsur yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan. Sebagai pemberita, apakah pendekatan yang dipakai telah melanggar hati nurani sendiri? Jika jawabannya "Ya", maka Anda perlu mengubah pendekatan.

  4. Mengantisipasi Perubahan

    Kontekstualisasi memiliki dua masalah sekaligus dari dalam dan dari luar. Dari dalam disebut sinkritisme, sedang dari luar disebut modernisasi. Modernisasi adalah suatu proses perubahan yang diusahakan guna mencapai kebudayaan yang lebih modern. Menurut definisi ini, modernisasi boleh dikatakan merupakan ancaman kontekstualisasi di masa yang akan datang. Modernisasi bisa membuat apa yang telah dirumuskan oleh kontekstualisasi sekarang menjadi tidak relevan di masa yang akan datang, dengan adanya transformasi yang dimotori oleh modernisasi. Ciri utama modernisasi bukanlah gaya hidup yang kebarat-baratan, melainkan rasionalisasi. Tegasnya, modernisasi adalah pergeseran dari yang bersifat irasional menuju kepada hal yang bersifat rasional.

Prinsip-Prinsip Khusus Kontekstualisasi

  1. Menilai Diri Sendiri

    1. Apakah Cukup Terbeban
      1. Apakah Anda cukup lama berdoa untuk kelompok orang tersebut?
      2. Apakah Anda sudah cukup lama berdoa untuk tempat tersebut?
      3. Apakah Anda sudah cukup lama berdoa untuk membawa keluarga Anda ke tempat tersebut?
      4. Apakah Anda sudah cukup lama berdoa untuk mendapat dukungan pelayanan dari orang-orang untuk ke tempat tersebut?
      5. Apakah Anda sudah cukup lama memikirkan segala kemungkinan yang terjadi?
      6. Apakah Anda sudah memutuskan meski apa pun yang terjadi?
      7. Apakah Anda rela kehilangan sesuatu demi pelayanan tersebut?
      8. Apakah Anda rela tinggal bersama-sama dengan mereka di tempat itu?
      9. Apakah Anda siap untuk mendapat dukungan dari siapa saja?
      10. Apakah Anda siap tidak mendapatkan dukungan dari siapa saja?
      11. Apakah Anda siap berbahasa seperti orang-orang di tempat tersebut?
      12. Apakah Anda bersedia berpakaian seperti orang-orang tersebut?
      13. Apakah Anda bersedia makan makanan orang-orang di tempat tersebut?
      14. Apakah Anda akan tetap bertahan di tempat tersebut?
      15. Apakah Anda akan dikubur di tempat tersebut?
    2. Apakah Anda Cukup Berkarunia

      Yang dikatakan cukup berkarunia meliputi dua dimensi, yaitu dimensi spiritual yang adalah kerelaan melayani, dan dimensi sosial yakni kondisi yang memadai. Kontekstualisasi memerlukan kondisi yang memadai dari si pelaku dengan target kelompok yang diinjili. Jika kurang dari itu, bisa disebut kurang cukup berkarunia. Suatu contoh, orang Jawa yang ingin menjangkau suku Tionghoa, atau sebaliknya orang Tionghoa perkotaan yang ingin menginjili orang Jawa di pedesaan.

  2. Menilai Unsur-Unsur Budaya

    1. Unsur-Unsur Budaya yang Netral

      Berbicara tentang unsur-unsur budaya yang tidak diajarkan oleh Alkitab dan juga tidak bertentangan dengan Alkitab itu sendiri.

    2. Unsur-unsur Budaya yang Bertentangan dengan Alkitab

      Kebudayaan biasanya bercampur dengan budaya lokal. Kebudayaan semacam itulah yang sering kali bertentangan dengan Alkitab. Di sinilah pentingnya mempelajari setiap unsur budaya masyarakat yang menjadi kelompok sasaran.

  3. Mengenal Kelompok Sasaran

    Dalam siasat perang, mempelajari keadaan lawan merupakan bagian dari kemenangan. Demikian juga dalam penginjilan, mengenali kelompok sasaran merupakan bagian dari keberhasilan. Sebab, dengan mengenal kelompok sasaran, seorang utusan Injil bisa merumuskan sesuatu pendekatan yang relevan.

  4. Pendekatan Multi Konteks
    1. Pendekatan Melalui Pintu Agama

      Selama ini, kelihatannya para utusan Injil berfokus pada lintas budaya daripada lintas agama. Padahal, keduanya memiliki kedudukan yang sama penting dan strategis dalam kaitannya dengan menjangkau orang yang belum percaya. Maka dari itu, baik pendekatan budaya maupun pendekatan agama sama-sama mencari dan mengamati berbagai titik celah keagamaan, yang dapat menjadi peluang bagi Injil untuk dikontekstualisasikan. Bedanya, pendekatan agama selalu menuntut pertobatan dari agama lama, sedangkan pendekatan budaya tidak selalu menuntut pertobatan dari budaya lama.

    2. Pendekatan Melalui Budaya

      Ada 3 pola perkembangan yang sering terjadi, antara lain: agama menelan budaya, budaya menelan agama, dan agama memakai budaya. Yang pertama tidak kontekstualisasi, yang kedua korban kontekstualisasi, dan yang terakhir kontekstualisasi yang hati-hati.

    3. Pendekatan Melalui Filsafat

      Setiap orang adalah filsuf dan akan hidup selalu dengan filsafatnya. Oleh sebab itu, perlu pendekatan yang relevan terhadap filsafat hidup orang yang disapa.

Diambil dari:

Judul diktat : Perubahan Budaya dan Kontektualisasi
Penyusun : Imanuel Sukardi, M.Th
Halaman : 17 -- 26

e-JEMMi 36/2012