You are hereKesaksian Misi / Kesaksian Seorang Pendeta
Kesaksian Seorang Pendeta
Mereka menerobos masuk ke ruangan itu, sementara terdengar jeritan-jeritan rekan-rekan Kristen sedang dibantai di luar. Pendeta HP dan istrinya menolong memimpin kamp muda Indonesia, mereka merasa bertanggung jawab atas orang-orang muda ini. Saat sebelum penyerangan merupakan saat-saat pertumbuhan rohani dan penyembahan yang penuh sukacita. Namun kemudian mereka diserang. Ketika massa radikal mengelilingi gedung di mana mereka bersembunyi, pendeta HP keluar. Untuk mengalihkan perhatian massa yang haus darah itu dari istri dan kaum mudanya, pendeta itu diserang sementara yang lainnya melarikan diri.
"Yesus, tolong saya." Kalimat itu merupakan kalimat terakhirnya. Setelah kejadian itu, istrinya melihatnya terbaring di peti mati. Luka berat menyayat dada dan lengannya. Dalam keadaan marah dan terkejut, Nyonya HP berteriak kepada Tuhan, "Mengapa Engkau membiarkan hal ini terjadi? Mengapa Engkau tidak melindungi suamiku?" Namun Roh Kudus mengingatkannya akan perkataan suaminya beberapa hari sebelum serangan itu. "Jika kamu mengasihi Yesus, namun kamu lebih mengasihiku dan keluargamu, kamu tidak layak akan kerajaan Allah." Ia mengatakan karena ia telah siap mati bagi Allah. Mengingat kalimat itu, ia menolak untuk menjadi pahit hati. Ia tetap bekerja bersama gerejanya di Indonesia. Nasihat yang diberikan bagi umat Kristen di negara-negara bebas adalah: "Carilah Tuhan dengan sungguh-sungguh, supaya kalian dapat bertahan di tengah-tengah kesulitan yang bertambah."
Kita tidak perlu mencari kesulitan. Kesulitan sudah punya alamat kita. Yesus sering mengingatkan murid-murid-Nya bahwa ujian merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Mencari Tuhan dengan lebih sungguh-sungguh tidak berarti mencari kesulitan bagi kehidupan kita. Keuntungan dari mencari hubungan yang lebih dalam dengan Tuhan adalah untuk mempersiapkan diri kita dengan lebih baik untuk hal-hal yang tak terelakkan. Kita tidak punya pilihan tentang kesulitan apa yang akan datang dalam hidup kita. Namun kita dapat memiliki hubungan dengan Tuhan yang menyiapkan kita untuk menghadapi kesulitan. Beberapa ujian bisa berarti kehilangan nyawa kita bagi kepentingan Kristus. Namun ini bukanlah pengorbanan yang sesungguhnya. Pengorbanan yang ekstrem harus muncul jauh sebelumnya. Kita harus mengorbankan keegoisan dalam setiap tingkatan dengan tujuan untuk mengembangkan keintiman dengan Tuhan dari waktu ke waktu. Ketika kita mengorbankan segalanya untuk mengejar hubungan yang terbaik dengan Kristus, kita sudah akan mengerjakan bagian yang tersulit.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku | : | Devosi Total |
Penulis | : | The Voice of the Martyrs |
Penerjemah | : | Fintawati Rahardjo dan Iyan Haryanto |
Penerbit | : | Yayasan KDP (Kasih Dalam Perbuatan), Surabaya 2005 |
Halaman | : | 16 |
Dipublikasikan di: http://kesaksian.sabda.org/kesaksian_seorang_pendeta
- Printer-friendly version
- Login to post comments
- 4836 reads