You are heree-JEMMI No.12 Vol.05/2002 / Jim XXXXXX -- Misionaris Untuk Suku Sawi
Jim XXXXXX -- Misionaris Untuk Suku Sawi
Jim Xxxxxx berumur 13 tahun ketika ayahnya meninggal dan ibunya adalah seorang Kristen yang taat. Memasuki usia remaja, tanpa figur seorang ayah membuatnya terombang-ambing oleh lingkungan, sehingga akhirnya ia terjerumus ke lembah kelam: narkotika. Hari-hari dilaluinya tanpa kedamaian. Dunia obat bius begitu menjeratnya sampai ia harus meringkuk dalam penjara. Namun Allah dengan kasih-Nya yang begitu besar menjamah Jim, sehingga ia masuk ke dalam rencana-Nya. Allah membawa Jim pada suatu rencana agung yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia akan menjadi seorang misionaris, apalagi ke tempat yang begitu jauh, yang sering disebut sebagai ujung bumi: Irian! (sekarang Papua - Red.)
Perjalanan misinya dimulai ketika ia menjadi mahasiswa di sebuah seminari di California, USA, setelah pertobatannya. Sebenarnya, Jim hanya ingin belajar satu tahun, tetapi entah karena apa setelah satu tahun dilewati di seminari itu ia meneruskan lagi sampai empat tahun. Pada tahun ketiga ia belajar, ada sebuah jemaat di Oregon, USA, yang gembalanya baru kembali sebagai misionaris selama 30 tahun di Thailand. Jim bekerja sama dengan misionaris itu selama 2 bulan. Dalam waktu yang singkat itulah Tuhan menaruh visi untuk pelayanan misi sedunia ke dalam hati Jim. Setelah menyelesaikan tahun keempat ada praktik pelayanan ke luar negeri. Jim dikirim ke Korea Selatan dan Jepang. Tujuan praktik pelayanan ini adalah mencari peneguhan supaya para mahasiswa tahu pasti kemana mereka harus melayani. Jim berada di Korea selama satu bulan dan di Jepang selama satu bulan. Selama di Korea, Jim merasa senang melihat gereja yang berkembang pesat. Namun panggilan Tuhan belum datang ketika ia berada di Korea. Ketika berada di Kyoto, kota pusat penyembahan berhala di Jepang, Jim suatu malam berdoa semalam suntuk dan saya berkata kepada Tuhan, "Tuhan, saya tidak suka tinggal di negeri asing. Saya tidak suka makan makanan yang aneh. Saya tidak bisa berkomunikasi karena bahasa mereka lain. Saya tidak mampu. Saya tidak akan bisa menjadi seorang misionaris." Dan Tuhan menjawabnya dengan tegas, "Jim, engkau tidak bisa menjadi misionaris, tetapi Aku bisa menjadikan engkau seorang misionaris."
Mulai saat itu Jim sadar dan tidak mau bergantung pada kemampuan dan keinginannya sendiri. Ia hanya ingin bergantung kepada kemampuan dan kehendak Allahnya. Ia merasa punya kepastian bahwa akan datang harinya di mana Tuhan akan membawanya keluar dari Amerika dan melayani di luar negeri. Ia tahu pintu akan dibukakan dan itu pasti terjadi.
Sekembalinya dari Jepang, Jim bersama istrinya kembali ke bangku kuliah untuk belajar Linguistik (Ilmu Bahasa) dan Misiologi selama satu tahun di Fuller Seminary, L.A./Pasadena. Ini adalah persiapan yang akan dipakai untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa suku terasing di Irian Jaya. "Saya mau melakukan pelayanan di mana orang lain tidak mau melakukannya. Dimana ada ladang pelayanan yang tidak diinginkan orang lain atau tidak bisa dilaksanakan orang lain, saya akan masuk ke sana." kata Jim. Sebab itu Jim dan istrinya bertanya kepada teman-temannya di mana ada suku yang belum diinjili dan belum ada kontak dengan dunia luar. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi ke suku Sawi di pedalaman Irian Jaya. Suku Sawi terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian utara dan bagian selatan. Pelayanan misi di bagian selatan telah dirintis oleh Don Richardson, sementara kontak dengan bagian utara sangat kurang. Di suku Sawi utara inilah Jim dan istrinya masuk sebagai misionaris pertama sampai hari ini.
Meninggalkan budaya hidup Amerika merupakan pergumulan sendiri bagi Jim Xxxxxx. Menurutnya, situasi di Amerika atau Jakarta sangat berbeda dengan Irian Jaya. Pelayanan di Jakarta itu terlalu enak, terlalu mudah untuk bergantung pada orang lain. Akan tetapi, pelayanan di hutan belantara Irian Jaya, tinggal seorang diri dengan keluarganya di tempat terpencil, kepada siapa akan bergantung selain kepada Tuhan saja? Itulah sebabnya, sejak semula Jim sudah menyiapkan mentalnya. Sekali berangkat ke Irian Jaya, ia memutuskan dan "membakar semua jembatan" yang dapat mengantarnya kembali ke Amerika.
"Ada orang mau menjadi misionaris untuk jangka waktu satu atau dua tahun, ada juga yang sampai empat tahun. Saya perhatikan, di tempat tugas yang terpencil itu mereka selalu rindu kembali ke tempat asal, selalu berpikir kapan kembali ke keluarga dan teman-teman? Saya yakin untuk menjadi misionaris seseorang harus putus hubungan dengan kampung halamannya, seperti membakar jembatan dan kapal-kapal sehingga tidak bisa kembali pulang. Kalau ada kesempatan untuk kembali, itu semata-mata dari Tuhan, tetapi kita harus siap untuk pergi dan pergi terus tanpa berpikir untuk kembali," kata Jim yang sekarang fasih berbahasa Indonesia dan sudah 20 tahun hidup di antara suku Sawi.
"Saya banyak mendengar tentang kegiatan misi jangka pendek (short-term mission), yang mereka sebut sebagai "misi kunjungan". Itu baik dan dapat sedikit menolong. Tetapi untuk menghasilkan pekerjaan yang besar dan bertahan lama harus ada orang yang mau bertahan hidup lama di suatu wilayah dan tinggal terus-menerus di sana dan menyatu dengan masyarakat setempat. Itulah yang saya lakukan untuk menghilangkan identitas Amerika saya. Saya menyatu dengan suku Sawi untuk mengambil nilai-nilai hidup mereka, untuk saya jadikan nilai-nilai hidup saya sendiri," ungkap Jim.
Jim mengaku banyak membaca buku-buku tentang Irian sebelumnya, tetapi pada waktu terjun ke medan pelayanan, ternyata keadaannya banyak berbeda, dan lebih berat daripada apa yang ditulis orang. "Saat kami turun dari pesawat yang membawa kami, semua orang mengerumuni kami dengan keheran-heranan. Tubuh kami diraba-raba dan akhirnya kami dibawa ke perkampungan mereka. Rupanya mereka sudah menyiapkan sebuah pesta untuk menyambut kedatangan kami. Untuk menghormati kami sebagai tamu, mereka memberikan makanan khas, yaitu ulat sagu yang harus kami makan hidup-hidup!" katanya sambil memperagakan cara memasukkan ulat yang menjijikkan itu ke dalam mulutnya.
Lebih lanjut Jim menceritakan awal-awal pelayanannya di sana. "Kami tahu di sana sering terjadi perang suku, tetapi tidak tahu kalau pada hari pertama kami datang ada perang sungguhan di depan mata kami. Kejadian itu sangat mengejutkan kami." Ternyata Jim dan istrinya tidak satu kali saja menghadapi peperangan semacam itu. Setiap minggu selama tahun-tahun pertama pelayanan mereka selalu terjadi perang suku. Tantangan lain datang bagi pasangan yang pada waktu itu baru menikah ini adalah saat Jim terserang malaria dan hampir mati. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali, sehingga sampai ia lupa sudah berapa kali ia terserang penyakit berbahaya yang hampir merenggut nyawanya itu.
"Jadi, yang terpenting adalah hubungan pribadi dengan Tuhan. Hubungan yang erat setiap hari dengan Tuhan. Hidup melayani di perkotaan banyak mendapat dukungan dari orang lain. Kalau anda sedang merasa "down", anda dapat datang ke gereja dan mendengarkan khotbah yang bagus dari gembala yang menguatkan. Atau bila anda sedang kecewa, anda dapat memutar kaset-kaset rohani dan anda dikuatkan. Akan tetapi, hidup di hutan seperti kami, tidak memiliki hiburan apa-apa. Hanya diri sendiri bersama Tuhan." tambahnya.
Mengabarkan berita keselamatan kepada suku Sawi tidaklah mudah. Bertahun-tahun Jim dan istrinya mengajar mereka untuk percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi tidak satu pun yang mau percaya. Sementara itu, istri Jim bekerja di poliklinik, menolong orang-orang yang sakit. Kebanyakan orang-orang Sawi itu sakit borok di kaki, sampai kelihatan tulangnya. Dengan penuh kasih mereka diobati atau disuntik dan didoakan. Ajaib, dalam waktu dua tiga hari penyakit itu sembuh.
Perjuangan Jim tidaklah sia-sia. Ia baru berumur 24 tahun bersama istri tercintanya ketika mereka masuk ke pedalaman hutan belantara Irian demi keselamatan "saudara-saudaranya", suku Sawi, di Irian bagian selatan. Apa yang ia tabur, kini sudah berbuah. Oleh pertolongan Tuhan saat ini berdiri tujuh sidang jemaat suku Sawi.
Jim Xxxxxx mengungkapkan bahwa setelah enam bulan ia baru bisa berkomunikasi dengan bahasa Sawi dan setelah satu tahun ia lebih lancar lagi, sehingga ia dapat menjelaskan hal-hal rohani. Setiap hari ia bersama laki-laki Sawi pergi berburu ke hutan dan istrinya juga masuk ke hutan bersama para wanita Sawi untuk mencari sagu. Dengan cara itu ia menjadi cepat menangkap bahasa Sawi sampai ia dapat menyelesaikan penerjemahan Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Sawi. Pada saat ini ia sedang menerjemahkan Alkitab Perjanjian Lama bersama-sama orang-orang Sawi dan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).
Ketika ditanya apakah pergumulan terberat yang dialami selama berada di Irian, Jim menjelaskan, "Sebenarnya ini adalah rahasia. Mungkin orang lain melihat misionaris itu orang yang kuat secara rohani. Itu tidak benar! Ada pergumulan berat ketika iblis mencobai dengan perasaan ditinggalkan. Kami melayani di tengah-tengah hutan Irian dan tidak ada kontak dengan orang-orang luar. Orang-orang di gereja asal kami tidak tahu apa yang terjadi dengan kami. Orang-orang di Jakarta atau tempat-tempat lain melupakan kami, walaupun kami kirimkan pokok-pokok doa mengenai pelayanan kami tapi mereka lupa berdoa bagi kami. Kami sendirian. Tuhan mengizinkan iblis mencobai dengan perasaan itu. Tidak ada orang atau organisasi yang memperhatikan kami. Sebab itu banyak misionaris yang pulang ke negerinya karena patah semangat."
Sampai hari ini Jim Xxxxxx sudah 20 tahun tinggal bersama keluarganya di tengah-tengah saudara-saudaranya, suku Sawi. Mereka berkata bahwa Irian adalah tanah airnya dan dia telah menyatu dalam hidup dan budaya Sawi. Dalam pelayanannya, Jim berusaha menerapkan pelayanan terpadu, pelayanan secara utuh yang meliputi roh, jiwa dan tubuh. Ia tidak hanya mengajarkan hal-hal rohani, tetapi ia juga membuka sekolah untuk memberantas buta huruf, mengajarkan kursus peternakan, pelayanan kesehatan, proyek air bersih dll. Jim yakin apabila mereka menerima keselamatan maka hal itu akan mengubah semua kehidupan mereka.
Meskipun suku-suku terasing di pedalaman Irian seperti suku Sawi ditinggalkan dunia modern, tetapi mereka tetap diperhatikan Allah. Ia telah mengirimkan hamba-Nya untuk menyelamatkan mereka. Ia yang telah menciptakan suku-suku bangsa, Ia pula yang akan menyelamatkan mereka dengan cara-Nya sendiri.
Kesaksian ini adalah kiriman dari: Rusli Kurniawan <rusli_kurniawan@xxx> [Kepada Sdr. Rusli; terima kasih banyak untuk kirimannya. Kami yakin banyak pembaca e-JEMMi dibangkitkan semangatnya untuk berdoa terus bagi para misionaris setelah membaca kesaksian yang anda kirimkan ini.
Sumber: e-JEMMi 12/2002
- Printer-friendly version
- Login to post comments
- 9593 reads