JS, staf Open Doors Singapura, baru-baru ini mengadakan perjalanan ke Bangladesh dan bertemu dengan beberapa umat Kristen lokal. Perjalanan tersebut sangat memberkatinya dan membawa pengaruh dalam hidupnya.
"Saya harus menjadi terang bagi Yesus di desa ini karena terang-Nya hilang oleh kegelapan dalam hidup saya." Pernyataan ini datang dari seorang gadis di Bangladesh yang terlihat sama seperti gadis-gadis umumnya. Ia berusia 19 tahun, namanya ML. Ia adalah putri seorang dokter di desa G, Bangladesh.
ML bercerita tentang penganiayaan yang terjadi atas dirinya karena ia seorang pengikut Kristus, dan bagaimana penduduk merendahkannya karena ia dan keluarganya adalah umat Kristen. Titik balik terjadi ketika orang tuanya mengizinkan ML untuk mengikuti kursus medis yang diadakan oleh Open Doors di Dhaka.
Saat ini, meskipun ia hanya memiliki klinik kecil yang bisa menolong orang-orang sakit, tetapi banyak orang datang karena ia memiliki gaya hidup Kristen yang menunjukkan kasih Kristus. Dengan demikian, ia dapat membagikan berita Injil. Ia juga telah mematahkan batas gender yang masih memandang tabu perempuan bekerja.
Banyak dari pasiennya adalah kaum pria, yang dahulunya sering memandang rendah perempuan, tetapi mereka berubah sekarang. Di desa yang berpenduduk 10.000 orang ini, rumah sakit terdekat berjarak 1 jam perjalanan, dan tidak ada yang memberikan pengobatan dalam radius 50 kilometer. Kehadiran dokter desa adalah sesuatu yang sangat penting.
Pelayanan Open Doors yang memberikan pelatihan bagi umat Kristen yang berlatar belakang agama lain, tidak hanya memberikan kesempatan untuk mencari nafkah bagi Gereja yang teraniaya, tetapi akhirnya penduduk desa bisa menerima mereka dengan baik.
Saya pulang ke rumah dengan perasaan kagum pada mereka yang tetap tahan uji di tengah penderitaan. Seluruh keluarga ML telah membuka hati bagi Kristus. ML terus berbakti bagi desanya, seorang remaja sederhana, dengan hati yang mulia dan kasih Kristus terus tercurah setiap hari melalui pelayanannya sebagai "dokter" desa, membuat saya bertanya, apakah saya bisa memiliki keberanian untuk melakukan hal mulia seperti yang dilakukan ML itu?
Saya tidak dapat melupakan air mata yang mengalir di wajah Pendeta MA (50 tahun) setelah saya berdoa baginya. "Saya sangat kesepian," ia terus mengulang kata-kata itu saat saya merangkul bahunya. Tidak ada lagi yang dapat saya katakan, tetapi hati saya bisa turut merasakan kesedihannya.
Pendeta MA bercerita tentang penganiayaan yang dialaminya. Ia dipukuli dengan tongkat besi, ditendang, dan hampir buta sejak ia menjadi gembala sebuah gereja rumah yang berjemaatkan anggota yang sebelumnya berasal dari agama lain di desa H. Meskipun ia telah melewati penganiayaan yang berat itu, dia masih tetap diolok-olok oleh penduduk yang pernah memukulinya.
Meski di tengah penganiayaan dan penderitaan yang dilalui oleh Pendeta MA dan jemaatnya, ia tetap tidak menghentikan pelayanan penggembalaannya. Ia tetap mencari jemaatnya untuk menguatkan mereka agar tetap setia pada iman mereka. Inilah hati gembala yang sesungguhnya, gembala yang tidak mengabaikan dan meninggalkan domba-dombanya.
Melihat semangat yang tidak padam saat menggembalakan gereja rumah yang terdiri dari 10 jemaat, saya merefleksikan kasih saya pada Tuhan dan betapa besar hasrat saya untuk berkumpul dengan saudara-saudari seiman dan menyembah-Nya bersama.
Saudara-Saudari, saya di sini mempertaruhkan pekerjaan, keluarga, dan hidup mereka untuk berkumpul bersama dan menyembah Tuhan. Sementara banyak dari kita yang hidup di negara bebas melakukannya karena rutinitas dan tugas.
Melalui perjumpaan dengan Pendeta MA dan jemaatnya, saya semakin menghargai kebebasan dan kemerdekaan yang saya miliki di negara saya, dan betapa pentingnya untuk terus berdoa bagi mereka.
Diambil dari: | ||
Judul buletin | : | Frontline Faith, Edisi Januari -- Februari 2010 |
Penulis | : | JS |
Halaman | : | 8 -- 9 |
Sumber | : | e-JEMMi 39/2012 |