Pendahuluan/Sejarah
Daerah perbukitan Jawa Barat sebagian besar dihuni oleh kaum Muslim suku Sunda, namun daerah yang terletak di sektor barat dihuni oleh suku Badui -- suatu komunitas Sunda purba yang masih tersisa, yang menggunakan dialek Sunda kuno. Suku Badui sengaja mengisolasi diri mereka di daerah pegunungan, ketika mayoritas penduduk pulau Jawa menjadi pemeluk agama Islam. Mereka telah mempertahankan kasta sebagai sistem stratifikasi sosial yang kental. Keturunannya ditandai melalui kedua orang tua mereka, namun keluarga asalnya tidak sekuat seperti pada kalangan etnis utama suku Jawa. Bentuk atau corak desa terdiri dari lebih kurang 35 kelompok kecil, yang terdiri dari rumah-rumah penduduk yang tersebar di sekitar lahan padi gagarancah, yang digarap secara musiman dan berpindah-pindah. Terdapat tiga desa yang tetap terisolasi sama sekali dari kontak-kontak dengan suku non-Badui. Orang Badui yang mengenakan busana hitam, berbicara dengan pihak luar; namun mereka yang mengenakan sarung putih, harus tetap mempertahankan isolasi secara ketat. Pemerintah telah berupaya untuk mendidik mereka dan telah membawa suatu perubahan gaya hidup bagi mereka. Namun, sebagian besar di antara mereka menolak bantuan ini, dan sebagai akibatnya mereka tetap buta aksara dan primitif. Suku Badui memiliki reputasi sebagai orang-orang yang gemar menggunakan ilmu hitam. Banyak orang yang takut karena kemampuan mereka untuk meramalkan masa depan dan menjampi musuh-musuh mereka.
Karena keterbelakangan mereka, mereka telah menolak untuk mendidik anak-cucu mereka pada sekolah-sekolah umum. Pemerintah juga tidak menyelenggarakan pendidikan, akibatnya mereka tetap buta huruf dan primitif. Menurut berita, para pria Badui diizinkan untuk menumpang kereta api secara gratis. Pria-pria mengenakan kemeja biru tua atau hitam dan sarung, serta melilitkan rambut mereka yang panjangnya sepinggang dengan kain hitam pada kepala mereka. Memotret mereka adalah suatu tindakan yang tabu.
Suatu kesulitan utama adalah akses ke wilayah Badui. Mungkin langkah pertama adalah menetapkan suatu titik pertemuan di perbatasan dan berteman dengan beberapa orang Badui. Pertemuan yang alamiah lebih baik dilakukan oleh orang Sunda sendiri, daripada oleh orang luar. Para pelayan harus diperlengkapi dengan alat-alat peraga visual yang baik untuk penginjilan, dan yang berorientasi pada budaya karena orang-orang Badui tidak bisa membaca. Setiap pelayan juga harus dipersiapkan untuk menghadapi kuasa ilmu hitam dan penyembahan berhala orang-orang Badui. Pelayanan penyembuhan dan pelepasan, akan sangat tepat menyertai pemberitaan Injil. Seorang ahli bahasa-penerjemah Kristen asing bisa ditempatkan di daerah itu, yang akan memfasilitasi dengan menggunakan kata-kata kunci Injil sehari-hari sebagai langkah awal.
Perlu dicari cara-cara untuk menjangkau orang Badui luar yang memiliki relasi dengan orang Badui dalam. Selanjutnya, orang-orang Kristen etnis lainnya dapat diperkenalkan. Sebagian kecil orang Badui yang berhubungan dengan para pengusaha adalah contoh Badui yang berhubungan dengan pihak luar. Suatu risiko yang mungkin terjadi adalah pengucilan para penghubung itu. Kaum muda bisa menjadi sasaran yang mau menerima. Mereka yang telah bepergian keluar dan menyaksikan kehidupan orang-orang non-Badui adalah calon orang-orang yang dapat diubahkan. Namun demikian, budaya dapat dengan mudah menghadapi ketidakseimbangan bilamana orang-orang yang lanjut usia diabaikan. Para pelayan harus berteman dengan mereka, dan mengetahui kebutuhan yang dirasakan unik bagi mereka yang gaya hidupnya terasing. Selanjutnya, dibutuhkan strategi yang lebih lengkap yang disusun untuk menjangkau seluruh suku bangsa. Telah diberitakan bahwa beberapa pejabat pemerintah di republik ini telah meminta orang Badui untuk memberi nasihat pada urusan kenegaraan, karena mereka percaya bahwa orang-orang Badui memiliki kekuatan khusus untuk meramal masa depan dan menjampi musuh-musuh mereka. Namun, orang-orang Badui lebih suka membiarkan diri mereka sebagai orang-orang buta huruf, daripada mendidik anak-anak mereka di sekolah-sekolah umum milik pemerintah.
Ketika Injil telah masuk ke pulau Jawa, mereka juga bersikukuh menentangnya. Pada suatu ketika, seorang Indonesia yang telah menjadi orang Kristen berbicara dengan beberapa orang Badui tentang Yesus Kristus, namun usaha-usahanya ditentang keras oleh para pemimpin Badui. Meskipun tidak ada data untuk membuktikannya, tampaknya menjangkau kaum bangsawan Badui merupakan kunci untuk menjangkau semua lapisan orang Badui. Mereka menutup diri terhadap setiap kesaksian orang-orang Kristen. Meskipun demikian, beberapa orang Kristen suku Jawa telah mempertaruhkan nyawa untuk mencoba membawa Injil kepada orang-orang yang membutuhkan ini.
Apakah Kepercayaan Mereka?
Agama rakyat (tradisional) adalah kekuatan spiritual yang dominan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Gambaran Kekristenan sedikit sekali masuk ke dalam kehidupan Badui, karena daerah ini sangat terisolasi. Selama tahun 1970-an, seorang Kristen suku Sunda yang memiliki semangat pelayanan melakukan beberapa perjalanan ke Badui, diberitakan bahwa banyak orang bertobat. Kehidupannya dalam bahaya selama beberapa waktu dan ia harus melarikan diri dari daerah itu. Kontak itu tidak berlangsung lama dan tak ada lagi saksi-saksi Kristen di sana. Bahkan ketika kontak Injil berlangsung, orang-orang Badui sangat menentang. Satu-satunya penghubung dari luar dengan orang-orang ini sekarang adalah, para pengusaha terdekat yang mempekerjakan orang-orang Badui untuk menampilkan kerajinan tangan dan kebiasaan mereka. (t/Samuel)
Pokok Doa:
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Joshua Project |
Alamat URL | : | http://joshuaproject.net |
Judul asli artikel | : | Badui of Indonesia |
Penulis | : | Tidak dicantumkan |
Tanggal akses | : | 24 Januari 2011 |
Sumber | : | e-JEMMi 17/2011 |