Bagaimana seorang budak perempuan kecil bisa dipakai Allah untuk menyatakan kasih-Nya kepada orang-orang yang belum mengenal Dia di kota Malagasy? Ikutilah sebagian kutipan kisah tentang "Budak Perempuan Cilik" berikut ini, yang diambil dari salah satu kesaksian dalam buku "Alkitab di Seluruh Dunia: 48 Kisah Nyata", karya Grace W. McGavran dengan judul asli "Stories of the Book of Books", yang diterbitkan oleh Lembaga Literatur Baptis.
Satu abad yang lalu, di sebuah pulau besar yang jauh dari kepulauan Indonesia, seorang anak perempuan kecil sedang menangis tersedu sedan. Pantas saja ia menangis! Coba bayangkan: Si Upik baru saja diculik dari rumah orangtuanya. Ia ditangkap oleh orang-orang kejam yang memperbudak manusia. ... --dipotong-- ....
Ketika pagi itu tiba, si Upik diberi sehelai jubah baru yang sederhana. Rambutnya pun disisir rapi. Si penjual budak sudah pandai membuat barang dagangannya kelihatan menarik di mata calon pembeli! Sekali-sekali ada orang yang menanyakan si Upik, yang duduk di bawah naungan sebuah pohon besar dengan perasaan sedikit takut dan sedikit mengharap-harap. Akan tetapi, mereka selalu terus pergi setelah mendengar harga yang ditawarkan itu, walau ada juga orang yang sempat berkomentar dengan berbisik: "Cantik sekali! Mungkin ia akan laku juga semahal itu."
Sebelum sang surya naik tinggi di atas cakrawala, datanglah sebuah tandu yang indah, diusung oleh empat budak laki-laki. Budak yang kelima memagang menaungi seorang wanita muda yang berbaring di atas usungan itu; pakaiannya sangat mewah. Wanita yang kaya-raya itu mengamat-amati setiap budak yang dipertontonkan kepadanya. Kekhawatiran dan kesedihan budak-budak itu tidak dihiraukannya. Rupa-rupanya ia menganggap seorang budak itu sama seperti seekor anjing kesayangan saja. Hanya ada satu budak yang kelihatan tidak sedih. Itulah si Upik. Ia begitu tertarik akan penampilan wanita kaya itu sehingga ia memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. Belum pernah ia melihat seorang wanita dengan pakaian sebagus itu!
"Gadis yang itu!" Sang penumpang tandu menunjuk kepada si Upik. "Kelihatannya cerdik, lagi cantik. Suruh dia berdiri!"
Sebelum si Upik sadar apa yang terjadi, jual beli itu sudah selesai. Sekarang ia telah menjadi milik wanita muda yang kaya-raya itu. Di tempatnya yang baru, si Upik dengan cepat dan lancar dapat belajar cara-cara melayani majikannya. Majikannya ternyata sangat baik hati. Perempuan kaya itu merasa senang, terutama karena gadis cilik yang baru dibelinya itu tidak pernah menangis lagi, dan tidak pernah bermuram durja.
Namun, kadang-kadang si Upik merasa kesepian. Pada saat-saat demikian, bila tidak ada tugas, ia suka pergi menyendiri dan duduk di bawah sebuah pohon yang besar di taman. Dari dalam jubahnya ia mengambil sebuah buku yang selalu ia bawa serta. Lama ia duduk sambil membaca buku kecil itu.
Buku kecil itu adalah buku yang kebetulan dibaca pada saat ia diculik. Tanpa disadari ia tetap menggenggam buku itu ketika ia ditangkap dan diseret oleh para perampok. Kini buku kecil itu menjadi harta si Upik yang paling berharga: Isinya tak lain ialah Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Malagasy (yang mirip sedikit dengan bahasa Indonesia). Di dalam rumah tangga majikannya itu tidak ada seorang Kristen pun kecuali si Upik. Juga, tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat membaca, sang majikan juga tidak. Namun budak-budak yang buta huruf itu senang mengintip pada saat-saat si Upik pergi menyendiri. Dan mereka pun senang mendengar si Upik membaca, karena ia selalu membaca dengan bersuara, sesuai dengan kebiasaan pada zaman itu. Tidak lama kemudian, setiap pelayan di rumah tangga itu mengetahui bahwa si Upik memiliki sebuah Buku kecil, dan bahwa ia pandai membaca isinya.
Pada suatu hari yang panas, sang majikan berjalan-jalan di taman untuk menikmati buaian angin sejuk. Sayup-sayup terdengar olehnya suara orang. Karena ingin tahu, ia menghampiri tempat dari mana suara itu terdengar. Tampaklah si Upik sedang duduk di bawah pohon, asyik membaca. "Ha! Sedang apa kau Upik?" tanya majikannya. "Sedang menghafal cerita, ya?" Dengan hormat si Upik berdiri. Mula-mula ia hendak menyembunyikan Buku kecil itu, tetapi kemudian diperlihatkannya. "Tidak, nyonya besar. Aku sedang membaca Kitab Suci." "Membaca? Sungguh kau dapat?" tanya sang majikan. "Sungguh, nyonya besar," jawab si Upik seraya menganggukkan kepalanya. "Ayah yang mengajarku membaca."
Budak-budak yang lain sedang mengintip peristiwa itu dari jauh, dengan hati yang berdebar-debar. Apakah majikan mereka akan marah? Ataukah merasa geli saja? Namun, kedua dugaan itu meleset. Apa yang mereka dengar kemudian? "Dapatkah kau mengajarku membaca, Upik?" tanya sang majikan. "Dapat, nyonya besar! Dengan senang hati," jawab si Upik. Pelajaran membaca itu segera dimulai. Karena tidak ada buku lain, Kitab Perjanjian Baru milik si Upik menjadi buku pelajaran. Si Upik mulai dengan cerita-cerita yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, seperti misalnya cerita domba yang hilang dan cerita orang Samaria yang murah hati. Kata demi kata sang majikan belajar membaca perumpamaan-perumpamaan itu. "Sangat menarik!" serunya. "Cerita-cerita ini amat indah. Tetapi ... siapakah Tuhan Yesus itu?"
Maka pelajaran membaca yang berikutnya diambil dari Kitab Injil Lukas, pasal 2. Budak cilik itu menolong majikannya membaca tentang kelahiran Yesus pada malam yang ditaburi bintang-bintang. Mereka membaca tentang para malaikat yang menyanyi dan memuliakan Tuhan, tentang sinar surgawi yang turun menerangi palungan Sang Bayi Kudus. Si Upik melanjutkan membaca tentang peristiwa-peristiwa yang indah itu. Pasal demi pasal, pelajaran demi pelajaran, si Upik membacakan cerita Tuhan Yesus, termasuk ajaran-ajaran-Nya, penyaliban-Nya, dan kebangkitan-Nya. Si Upik pun meneruskan cerita itu dengan membacakan perbuatan-perbuatan para pengikut Tuhan Yesus setelah Hari Pentakosta. Sang majikan, beserta semua budaknya yang cukup dewasa, terus mendengarkan dengan penuh perhatian. Belum pernah mereka mendengar cerita yang demikian! Bukan hanya itu saja: Wanita bangsawan itu mulai mengundang teman-temannya untuk berkumpul di rumahnya pada waktu senja. "Aku mempunyai seorang budak baru," katanya, "seorang gadis kecil. Anehnya, ia dapat membaca. Buku miliknya sendiri memuat cerita-cerita yang sangat menarik, serta ajaran-ajaran yang belum pernah kudengar. Ayo datang dan mendengar Upikku membaca!"
Lambat laun Kabar Baik itu mulai meresap ke dalam hatinya. Pada suatu hari wanita yang kaya-raya itu berkata, "Upik, letakkan dahulu Bukumu dan jelaskan kepadaku bagaimana caranya aku dapat menjadi pengikut Tuhan Yesus." Hal ini tidak mengherankan si Upik. Siapa yang tidak mau mengikut Tuhan Yesus, demikianlah pikirannya. Siapa yang tidak mau berbakti kepada Allah Bapa, yang begitu mengasihi kita sehingga Ia mengutus Tuhan Yesus untuk menjadi Juru Selamat kita! Namun si Upik jadi terheran-heran juga pada suatu hari semua budak dipanggil menghadap majikan mereka. "Kalian sudah tahu," katanya dengan lambat, "bahwa aku telah menjadi pengikut Tuhan Yesus. Oleh karena itu, aku tidak boleh lagi memperbudak sesamaku. Kalian semua merdeka." Merdeka! Para budak itu hampir-hampir tidak mempercayai apa yang mereka dengar. Sungguh suatu hari yang diliputi kebahagiaan! Beberapa di antara mereka segera pulang ke kampung. Yang lainnya lebih suka tetap tinggal pada majikan mereka sebagai pegawai bayaran.
Dengan sangat gembira si Upik pulang ke rumah orangtuanya. Kedatangannya kembali itu membawa kebahagiaan yang tiada taranya bagi orangtuanya. Tetapi kemudian secara sukarela si Upik kembali lagi kepada sang majikan yang sangat dikasihinya. Mereka berdua, diiringi oleh beberapa pembantu, pergi jauh ke suatu tempat di mana ada utusan-utusan Injil. Di sana, mereka memohon agar penginjil-penginjil dikirim ke kota mereka di pulau Malagasy, untuk mengajar dan membimbing orang-orang Kristen yang baru. Utusan-utusan Injil yang datang dari negeri jauh itu merupakan jawaban atas permohonan doa mereka. Tetapi iklim di pulau Malagasy itu asing bagi para penginjil. Mereka dijangkiti penyakit, dan satu persatu meninggal. Akhirnya keadaan kembali seperti semula: tidak ada yang memimpin dan mengajar pengikut-pengikut Tuhan Yesus yang baru itu. Namun, sang majikan tidak putus asa. Dengan Alkitab di tangannya, ia mulai membaca dan berdoa serta mengharapkan pimpinan Roh Kudus. Lalu dengan sikap yang tenang dan gigih, ia sendiri mengajar setiap orang yang rela berguru kepadanya. Lambat laun di kota Malagasy itu tumbuhlah suatu jemaat Kristen yang banyak sekali anggotanya.
Hingga kini orang-orang Kristen yang tinggal di kota Malagasy masih suka bercerita dengan bangga: "Semuanya itu terjadi oleh karena seorang budak perempuan kecil yang kesepian membaca Kitab Perjanjian Barunya dengan suara keras, dan oleh karena seorang wanita muda yang kaya-raya terbuka hatinya untuk menerima ajaran Firman Allah serta melaksanakannya dalam hidupnya sendiri!"
Kesaksian selengkapnya dari kisah ini dapat anda baca dalam Situs Cerita Misi di alamat:
==> https://www.pesta.org/misi/cerita/
==> https://www.sabda.org/misi/cerita/cerita04.htm