You are hererenungan / Singkirkan Iri Hati, Si Penghambat Kemajuan Hidup
Singkirkan Iri Hati, Si Penghambat Kemajuan Hidup
Iri hati sering datang tanpa diduga, bahkan dengan pemicu yang tampaknya sepele.
Inilah yang saya alami pada suatu Minggu, ketika mengikuti lomba gerak jalan bersama teman-teman kantor. Saya meninggalkan acara lebih cepat untuk pergi ke gereja, jadi saya berikan dua kupon lucky draw kepada seorang teman. “Kalau menang, hadiahnya buat kamu saja,” begitu pesan saya.
Siangnya, saya dapat kabar kalau tim kami meraih juara kedua, dengan hadiah piala dan uang tunai. Saya mengucap syukur karena dapat uang jajan tambahan. Semua terasa menyenangkan, sampai saya mendengar bahwa teman yang saya beri kupon undian itu mendapatkan sebuah televisi.
Mau tak mau, saya teringat televisi sendiri yang sudah sekarat. Andai kuponnya tetap saya pegang, televisi itu pasti jadi milik saya. Tiba-tiba saya diliputi iri hati, dan rasa syukur mendapat hadiah juara dua menguap begitu saja.
Iri Hati, Sifat Alami Manusia
Melihat pencapaian orang lain yang melebihi pencapaian kita dapat memunculkan iri hati. Dia mencuri sukacita kita, melenyapkan rasa syukur, dan membuang waktu kita dengan percuma. Tak hanya membuat gelap mata, iri hati juga menghambat kemajuan kita dalam banyak hal.
Sekali hinggap, rasa iri bisa tumbuh liar dalam hati dan pikiran. Kalau kita biarkan berkembang, maka akibatnya bisa fatal. Iri hatilah yang menyebabkan saudara-saudara Yusuf menjualnya (Kejadian 37:9-28) dan membuat Kain tega membunuh adiknya, Habel (Kejadian 4:3-8).
Tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkanNya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas dan mukanya muram. – Kejadian 4:5
Rasa iri mudah sekali merasuki hati, tak peduli apa status dan latar belakang kita. Contoh paling dekat bisa kita temukan di lingkungan gereja.
Ketika ada brother atau sister yang kelihatannya amat diberkati, lebih mapan, punya usaha maju, kehidupan pelayanannya bertumbuh, banyak orang mau dibantu olehnya menjadi pengikut Yesus, apakah Anda turut senang? Kalau ya, berarti Anda orang yang tulus. Namun, ada orang yang harus bergumul agar tidak jatuh dalam dosa iri hati ketika melihat hal-hal tersebut.
Iri hati adalah hal yang manusiawi (1 Korintus 3:3). Namun, perlu diingat bahwa setelah menjadi murid Yesus, kita bukan lagi manusia duniawi, melainkan manusia Allah (1 Timotius 6:11).
Cara kita menyikapi rasa iri—dengan melihat sisi negatifnya saja, atau mengarahkan diri ke hal positif—akan menentukan langkah kita selanjutnya. Jika ditelaah dengan benar, rasa iri justru dapat menjadi motivasi agar kita berusaha lebih baik lagi. Kita ditantang untuk mengevaluasi apakah sudah melakukan bagian kita dengan optimal. Kalau belum, wajar saja hasil yang kita peroleh juga minim.
Tiga hal yang bisa kita lakukan agar terbebas dari iri hati:
1. Pikirkan hal yang baik
“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” – Filipi 4:8
Kita tidak bisa melarang burung terbang di atas kepala kita, tetapi kita bisa melarangnya bersarang di kepala kita. Ungkapan bijak itu menggambarkan bahwa kita tak dapat melarang pikiran negatif datang, tapi bukan berarti kita harus dikuasai olehnya. Daripada iri hati melihat kesuksesan orang, pikirkanlah bahwa dia berhak mendapatkannya. Dia ulet, pekerja keras, beriman, supel, dan percaya diri, sehingga wajarlah dia meraih begitu banyak hal baik. Pikiran adalah medan peperangan, berjuanglah untuk menang atasnya.
2. Cukupkan diri dan ucapkan syukur atas berkat Tuhan
“Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.” – Filipi 4:11
Setiap manusia punya jatah berkat masing-masing. Kita tidak dapat memaksakan rezeki orang lain menjadi rezeki kita juga. Belajarlah dari Paulus yang mencukupkan diri dalam segala keadaan, baik dalam kelimpahan maupun kekurangan. Jangan selalu melihat ke atas, tetapi lihatlah juga ke bawah agar kita tidak lupa diri.
Memang, saya tidak mendapatkan satu unit televisi, tetapi saya bisa mengucap syukur atas bonus ratusan ribu rupiah yang menjadi bagian saya. Bukankah itu lebih baik daripada peserta lain yang sudah susah-payah berlatih tapi tidak dapat hadiah apa pun?
3. Memberi diri untuk dikoreksi
“Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.” – Ibrani 10:24
Ketika kita sudah berdoa tapi rasa iri hati masih mengganggu, mungkin ini saatnya kita minta bantuan kepada orang yang punya keyakinan iman kuat. Barangkali penyakit iri kita sudah akut dan butuh pertolongan ekstra. Ini bukan berarti Tuhan tidak mampu menolong; justru Dia ingin menolong kita melalui orang lain. Mungkin Tuhan ingin kita merendahkan hati, yaitu dengan membuka diri terhadap koreksi.
Ketika menyadari rasa iri perihal televisi itu, saya pun minta tolong kepada suami untuk meluruskan pikiran saya. “Karena kupon undianmu sudah kamu berikan kepada teman, maka itu menjadi hak dia sepenuhnya,” kata suami saya. “Kalau dia menang, itu adalah rezekinya—atau, anggaplah kamu telah memberkatinya.”
Setelah itu, saya merasa lebih baik dan malahan senang karena bisa menjadi berkat bagi orang lain. Ketika kita bersikap terbuka dan memberi diri untuk dikoreksi, perasaan dan pikiran negatif kita dapat berubah positif.
Jadi, segera singkirkan iri hati sebelum dia menjadi penyakit yang menjalari hati dan pikiran kita. Mari berpikir positif tentang orang lain, cukupkan diri dan ucapkan syukur atas berkat Tuhan, serta jangan ragu minta bantuan untuk mengatasinya jika perlu. Selamat menikmati hidup yang penuh syukur kepada Tuhan!
Source : https://gkdi.org/blog/iri-hati/
- suwandisetiawan's blog
- Login to post comments
- 842 reads