You are hereBahasa Yang Tidak Dikenal (Kanada, 1855 - 1864)

Bahasa Yang Tidak Dikenal (Kanada, 1855 - 1864)


John Wolsey menggigil. Dengan cepat ia keluar dari sungai yang sangat dingin airnya. Pantas saja John merasa kedinginan sampai kulitnya merinding, karena ia sedang telanjang. Dan sungai itu mengalir dari gunung yang tinggi, yang puncaknya berlapiskan salju.

Kedua orang suku Indian yang menemani dia dalam perjalanannya melalui hutan rimba di negeri Kanada itu juga hampir telanjang. Namun mereka sudah biasa dengan pakaian yang minim sekali, sedangkan John biasanya memakai baju panas, kemeja, dan celana yang hangat. Karena mereka harus mengarungi sungai, ia membuka pakaiannya, lalu membungkusnya dan menaruh di atas kepalanya agar tidak sampai basah.

Waktu menyeberang, John tetap memakai sepatunya. Ia khawatir kalau-kalau kakinya terkena batu runcing di dasar sungai. Setibanya di seberang, sepatu John sudah banyak menyerap air. Dengan tergesa-gesa ia mengenakan pakainya lagi. Kaus kakinya yang kering dan tebal itu segera mulai menghangatkan kakinya yang terasa seperti sudah beku. Tetapi kemudian ia harus memasukkan kakinya kembali ke dalam sepatunya yang basah kuyup itu.

Kedua orang suku Indian itu memandang John Wolsey dengan muka masam. Kaki mereka sudah biasa terkena batu runcing; kulit mereka pun sudah kebal terhadap angin dan air dingin. Namun mereka sudah berjanji akan menemani orang kulit putih dalam perjalanannya. Jadi, mereka menunggu denga sabar sampai ia selesai berpakaian lagi.

Dengan segera tubuh John menjadi hangat lagi, karena kedua pemandunya itu berjalan dengan cepat, dan terpaksa ia harus membuntuti mereka. Jika ia tidak salah mengerti keterangan mereka tadi, ia akan tiba di tempat perkemahan suku mereka sebelum matahari terbenam.

Hati John mulai deg-degan bila mengingat bahwa ia belum pernah menghadap kepala suku Indian mereka. Pada awal tiap kunjungannya ke suku yang baru, ia selalu ingat: Ada kemungkinan ia akan kehilangan nyawa. Memang, sampai sekarang setiap kepala suku yang ditemuinya itu berlaku cukup ramah terhadap dia. Tetapi seandainya ada hanya seorang kepala suku saja yang tidak suka terhadap John Wolsey, mungkin sekali rambutnya akan dijadikan hiasan kemah, sedangkan bangkainya akan dibuang ke dalam hutan.

Berjam-jam lamanya John mengikuti kedua orang Indian itu. Kadang-kadang kakinya tersandung batu, tetapi umumnya ia melangkah dengan mantap. Ia sudah banyak belajar bagaimana menelusuri jalan setapak di tengah hutan rimba.

Tiba-tiba kedua pemandu itu berhenti. Yang lebih muda menunjuk ke arah depan. Nampaklah asap yang mengepul ke atas.

"Itu tempat perkemahan sukuku!" kata pemuda itu. "Tunggu dulu di sini."

John rela saja menunggu. Ia tahu, pemuda itu akan memasuki perkemahan lebih dahulu agar dapat menghadap kepala suku. Ia akan menceritakan kedatangan soerang kulit putih, dan akan memohon supaya orang asing itu pun diperbolehkan menghadap.

Sementara orang Indian yang lebih muda itu pergi mendahului mereka, temannya yang lebih tua tetap mengawal John: Jangan-jangan ada suku Indian lain yang muncul di hutan ini dan langsung saja membunuh dia!

Satu jam kemudian, orang Indian yang lebih muda itu kembali. Ia melambaikan tangannya ke arah kumpulan asap tadi. Beritanya singkat saja: "Kepala suku rela menerimamu."

Ia tidak usah memberi keterangan lebih lanjut. Sejak John Wolsey tiba di daerah suku Cree beberapa bulan yang lalu, ia berusaha keras agar dapat mempelajari bahasa mereka. Namun hasilnya sedikit saja. Paling-paling ia dapat mengerti petunjuk-petunjuk sederhana dari kedua pemandunya itu. Tetapi ia tidak dapat mengikuti percakapan mereka. Ia pun tidak dapat mengatakan hal-hal yang sungguh penting kepada mereka.

Kepala suku dan para anggota pasukan perangnya itu bermuka masam pada saat John Wolsey dan kedua pemandunya memasuki perkemahan. Rupanya mereka kurang senang didatangi seorang kulit putih: apa lagi, ia seorang kulit putih yang tidak membawa serta bingkisan besar sebagai hadiah bagi mereka.

Namun dengan mantap John melangkah masuk ke dalam perkumpulan orang Indian itu. Ia menghadap kepala suku dan mengulurkan kedua belah tangannya sebagai tanda persahabatan. "Kawan-kawan!" ia berseru. Lalu ia memberi isyarat kepada pemandunya yang lebih tua itu. "Tolong beritahu mereka," pintanya.

Orang Indian itu mulai berbicara. Ia sudah biasa menemani John dalam perjalanan. Ia tahu apa yang biasa terjadi bila mereka baru pertama kali memasuki perkemahan suatu suku.

"Orang berkulit putih ini tidak membawa senjata, hai Tuanku," katanya dengan hormat kepada kepala suku itu. "Ia hanya membawa serta sebungkus benda-benda putih lebih tipis daripada kulit pohon, lebih keras daripada daunnya. Di atas benda-benda putih itu ada tanda-tanda, seolah-olah telah dicoreti dengan arang. Salah satu benda putih itu ada dipegang oleh orang berkulit putih ini, sedangkan matanya diarahkan kepadanya."

Kepala suku itu agak melongok ke depan agar ia dapat mendengar. Para anggota pasukan perangnya juga menarik napas panjang. Kira-kiranya apa yang dilakukan orang berkulit putih yang aneh ini, dengan semacam benda yang aneh pula?

Pemandu itu meneruskan ceritanya. "Setelah itu, hai Tuanku, dengan menggunakan semacam sihir yang belum kupahami, orang berkulit putih ini yang kurang mengerti bahasa kita namun dapat membuka mulutnya, dan yang keluar ialah . . . kata-kata dalam bahasa kita! Cerita-cerita yang belum pernah didengar oleh suku kita, itulah yang disampaikannya. Dan ajarannya itu mengenai Sang Roh Agung, bagaikan Bapak yang sangat mengasihi anak-anak-Nya."

"Sihir! Sihir!" Kata itu terdengar dibisikkan dari dalam kemah-kemah yang mengelilingi tempat John Wolsey dan pemandunya sedang menghadap kepala suku. Di belakang setiap pintu kemah yang terbuat dari kulit rusa itu, ibu-ibu dan anak-anak sedang asyik mendengarkan. "Orang berkulit putih ini pasti seorang tukang sihir yang besar!" mereka berbisik seorang kepada yang lain.

"Sihir?" kata kepala suku dengan nada bertanya. "Apakah ia memakai mantera dan guna-guna?"

"Tidak begitu, Tuanku," jawab pemandu itu. Rupanya ia sama saja seperti orang-orang berkulit putih lainnya. Namun . . . tidak sama juga. Walau ia sangat bodoh dan tidak dapat mengikuti jalan setapak tanpa bantuan seorang pemandu, namun ia berjalan terus dengan gigih. Ia tidak pernah marah atau mengomel, walaupun kadang-kadang usaha kami untuk memburu binatang gagal dan kami harus berjalan sepanjang hari tanpa makan."

"Dan . . . apa yang diinginkannya dari kami?" tanya kepala suku itu dengan was-was. "Ia sudah berjalan begitu jauh dari bangsanya sendiri."

"Ia cuma mau duduk-duduk bersama semua orang di sisi api unggun," pemandu itu melanjutkan. "Yah, pada malam hari, bila tugas sehari-hari selesai. Pada waktu itu ia mau membongkar bungkusannya dan mengeluarkan benda-benda putih yang seolah-olah dicoreti arang. Lalu ia mau membuka mulutnya dan menyampaikan kata-kata yang diberikan kepadanya oleh ilmu sihir itu. Hanya itu saja yang diinginkannya, hai Tuanku."

Kepala suku itu diam sebentar. Sesungguhnya ia kurang senang terhadap orang-orang berkulit putih. Mereka sering menipu sukunya, atau menjual minuman keras yang memabukkan kaum mudanya. Baru sebulan yang lalu, ada dua pemburu berkulit putih yang serta-merta masuk ke dalam perkemahan itu; rambut kepala mereka berdua telah menjadi hiasan kemah kepala suku. Tetapi orang berkulit putih yang ini . . . kelihatannya lain daripada yang lain. Di tengah-tengah mereka ia berdiri dengan sopan namun mantap. Tidak ada ciri-ciri ketakutan padanya hanya ciri-ciri persahabatan belaka.

"Biar dia tinggal di sini," kepala suku itu memutuskan. "Suruh ibu-ibu menyiapkan kemah bagi dia. Tetapi sebaliknya ia dijaga ketat; siapa tahu, mungkin ada siasat jahat."

Sebuah kemah kecil segera dipasang di tengah-tengah perkemahan, agar mudah dijaga. John Wolsey memasuki kemah itu untuk melepaskan lelah sejenak. Dari dalam bungkusannya ia mengeluarkan selimut dan pakaian cadangannya yang hanya satu stel itu. Lalu ia pun membongkar sebuah bungkusan kecil yang dilapisi kulit rusa putih halus. Ia melihat benda-benda putih yang sudah diceritakan oleh pemandunya itu.

Dengan pelan ia membolak-balikkan halaman demi halaman. Yang dicoreti di atasnya, bukanlah huruf-huruf biasa abjad biasa melainkan tanda-tanda yang mirip dengan gambar-gambar kecil. Dengan memeriksa nomor pasal dan ayat, John memilih bagian-bagian yang hendak dibacakannya kepada orang-orang Indian, yang sepanjang umur belum pernah mendengar sepatah kata pun dari Alkitab.

Lalu John tersenyum. Sungguh aneh: Di sana sini ia dapat mengerti hanya beberapa kata saja, dari, dari apa yang hendak dibacakannya itu. Namun ia tahu bahwa bunyi-bunyi yang dapat disampaikannya itu akan membawa arti yang dalam bagi setiap orang Indian yang mendengarnya.

John melamun sejenak. Ia teringat kembali akan seorang utusan Injil dahulu kala yang pernah diceritakan kepadanya; namanya, James Evans. Beberapa waktu yang lampau, James Evans pernah pergi kepada orang-orang suku Indian di daerah Danau Winnipeg, di Kanada. Mula-mula ia mempelajari bahasa lisan mereka. Lalu ia menentukan sebuah huruf berupa gambar kecil untuk setiap bunyi bahasa itu.

(Di antara bunyi-bunyi itu ada yang mirip dengan bunyi dalam bahasa Indonesia, namun artinya lain sekali. Misalnya saja, maka berarti "tetapi"; ayat berarti "ia telah.")

Dari kayu James Evans mengukir setiap gambar kecil tanda bunyi dalam bahasa suku Cree itu. Lalu ia melekatkan tanah liat pada setiap ukiran kayu itu, agar dapat dibuat cetakan. Setelah setiap cetakan yang tertuang itu kering, ia pun hendak menuangkan cairan timah ke dalamnya. Dengan demikian ia dapat membuat gambar-gambar kecil yang kemudian dapat diberi tinta, lalu dapat dikenakan pada kertas.

Tetapi pada waktu itu James Evans menghadapi suatu masalah besar. Di tengah-tengah hutan rimba di negeri Kanada, tidak ada timah untuk dicairkan; tidak ada kertas; juga tidak ada tinta untuk mencetak sesuatu di atas kertas itu.

Namun James Evans mendapat akal. Dos-dos tempat perbekalannya itu dilapisi logam, agar jangan dimakan rayap. Logam itu dibongkar dan dicairkannya untuk membuat gambar-gambar cetakan. Untuk membuat tinta, ia mencampur minyak ikan dengan jelaga lampu. Dan untuk kertasnya, ia memanfaatkan semacam kulit pohon yang tipis dan berwarna putih. Setelah ia berhasil mencetak beberapa helai kulit pohon itu, ibu-ibu suku Indian menjahitnya menjadi buku.

Ternyata gambar-gambar kecil itu mudah sekali dibaca, dengan mengucapkan bunyi-bunyi yang cocok. Pasti Tuhan Allah sendiri yang membimbing James Evans, kata John Wolsey pada dirinya sendiri di dalam kemah kecil itu. Sistem penulisan yang itu sangat sederhana. Bahkan aku sendiri, yang belum mengerti bahasa suku Cree, dapat membacakan Alkitab kepada mereka. Dan bunyi-bunyi aneh yang keluar dari mulutku itu membawa arti kepada semua orang yang mendengarkannya!

Lalu John berlutut di dalam kemah kecil itu. Ia memohon agar Firman Allah dapat meresap ke dalam hati orang-orang Indian. Ia berdoa agar mereka dapat mengerti dan menerima kasih Tuhan. Ia pun berdoa, semoga ia dapat tetap menyatakan kasihnya sendiri melalui persahabatan dan keberaniannya, sehingga orang-orang Indian itu rindu mengenal Sang Roh Agung yang disembahnya.

Senja telah tiba. Makan malam pun sudah selesai. Api unggun dinyalakan. Tubuh orang Indian itu membuat bayangan-bayangan besar pada lereng-lereng bukit batu yang melindungi lembah yang sunyi, tempat perkemahan mereka.

John Wolsey menunggu dengan tenang. Lalu kepala suku memberi isyarat, dan John maju ke depan. Ia berlutut dan memegang benda putih di tangannya, agar coretan di atasnya itu dapat dibaca dalam keremangan. Dengan pelan dan jelas ia membacakan isinya halaman demi halaman walau bunyinya membawa arti sedikit sekali bagi telinganya sendiri.

Kepala suku dan semua rakyatnya itu menarik napas panjang. Mereka tertegun mendengar kata-kata bahasa mereka sendiri keluar dari mulut orang asing berkulit putih itu.

"`Pada awal mulanya Sang Roh Agung membuat langit dan bumi, . . .'" demikianlah John membacakan. Setelah selesai menceritakan penciptaan itu, ia pun membalik beberapa halaman. "`Sang Roh Agung ini begitu mengasihi seisi dunia sehingga Ia mengirim Anak-Nya yang Kekasih . . .'"

Tidak ada suara kecuali keresek api unggun serta desau angin pohon-pohon cemara. Sekali lagi John membalik halaman dan mulai membacakan tentang Tuhan Yesus yang melayani orang banyak dengan menghajar dan menyembuhkan mereka.

Api unggun itu hampir padam, hanya tinggal baranya saja. Namun tidak ada seorang pun yang bergerak. Seorang bayi mulai merengek dalam pelukan ibunya; ibu itu dengan cepat menenangkannya, sambil tetap mendengarkan.

Lalu dengan terbata-bata John Wolsey mengucapkan beberapa kata dalam bahasa suku Cree yang telah dihafalkannya. Ia bersaksi bahwa Tuhan Allah, Sang Roh Agung, mengasihi semua orang Indian sama seperti Ia mengasihi anak-anak-Nya yang lain. Sang Roh Agung ingin supaya mereka pun mengasihi Dia sebagai anak-anak-Nya yang taat, dan supaya mereka mengikut Yesus Kristus.

Hening sejenak di sekitar api unggun itu . . . . Lalu kepala suku membuka suara. "Aneh sekali cerita itu," katanya. "Belum pernah kami mendengar cerita seperti itu. Masih adakah lagi?" tanyanya, sambil menuding ke arah benda-benda putih itu.

John Wolsey memberi isyarat kepada pemandunya yang lebih tua. Orang Indian itu mulai berbicara lagi:

"Berkali-kali orang kulit putih ini suka membuka mulutnya, sambil tetap memandang pada benda-benda putihnya selama dua malam, tiga malam, bahkan sampai empat malam berturut-turut. Setelah itu, ia pun akan meneruskan perjalanannya kecuali ada kepala suku yang mengundang dia untuk menetap lebih lama."

"Perjalanan? Mau ke mana dia?" tanya kepala suku.

Kali ini pemandu yang lebih muda yang menjawab. "Dari sini, hai Tuanku, ia mau pulang ke tempatnya sendiri. Sudah berminggu-minggu lamanya kami berjalan bersama dia. Sering kami berhenti di tempat-tempat perkemahan selama dua hari, tiga hari, bahkan sampai empat hari. Bila Tuanku ingin melepaskan dia, aku sudah berjanji akan menemani dia sampai ia kembali ke tempat bangsanya sendiri dengan selamat."

"Baik!" Kepala suku itu berdiri."Besok malam kami akan mendengarkan ceritanya lagi. Aneh . . . aneh sekali ceritanya itu!"

Para anggota pasukan perangnya ikut berdiri. Seseorang menimbun bara api unggun itu dengan abu. Hanya sinar rembulan saja yang menerangi mereka pada waktu mereka kembali ke kemahnya masing-masing.

Di dalam kemah kecil di tengah-tengah perkemahan suku itu, John Wolsey meringkuk di dalam selimutnya. Ia amat senang, sebab pada waktu ia membacakan Firman Allah tadi, ia telah memperhatikan wajah-wajah yang sungguh berminat.

Pada suatu hari, John berkata pada dirinya sendiri, akan datang utusan-utusan Injil yang dapat mengajar suku Cree, bagaimana cara membaca bahasa mereka sendiri. Para penginjil itu pun akan membawa serta seluruh Alkitab dalam bahasa suku Cree, . . . sedangkan aku ini hanya mempunyai beberapa halaman saja dari Firman Tuhan.

Sambil membayangkan masa depan yang bahagia itu, John Wolsey tertidur nyeyak . . . walau sebelumnya belum pernah ada seorang asing yang diperbolehkan menginap dengan aman di tengah-tengah perkemahan suku Cree.

TAMAT