You are hereBagian E. Mengapa Sebagian Orang Tidak Percaya?

Bagian E. Mengapa Sebagian Orang Tidak Percaya?


Alkitab tidak lagi bersikap diplomatis ketika berbicara tentang mengapa sebagian orang tidak percaya akan keberadaan Allah. tidak menutupi sesuatu pun ketika mengatakan, "Orang bebal berkata dalam hatinya: 'Tidak ada Allah.'"

Ucapan ini tidaklah sekeras kedengarannya. Ayat ini tidak menunjuk pada keterbatasan intelektual mereka yang tidak percaya. Kata Ibrani yang diterjemahkan "bebal" di sini menunjuk pada orang yang jahat, licik dan cacat secara moral. Definisi ini didukung oleh konteksnya, karena ayat Mazmur 14:1 melanjutkan penjelasan tentang orang bebal sebagai berikut: "Busuk dan jijik perbuatan mereka, tidak ada yang berbuat baik." Dengan kata lain, ada orang-orang yang menolak keberadaan Allah karena gaya hidup mereka yang jahat.

Dalam Mazmur 10:13 sebuah pertanyaan muncul, "Mengapa orang fasik menista Allah?" Jawabnya, "Sambil berkata dalam hatinya: 'Engkau tidak menuntut?'" Karena ia tidak mau menghadapi penghakiman untuk dosa-dosanya, ia menolak Allah. Rasul Yohanes mengatakan demikian:

...manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak (Yoh 3:19-20).

Orang yang memutuskan untuk hidup dengan cara tidak mengenal Allah akan cenderung melihat alam semesta tanpa Allah.

Kata kunci di sini bukanlah keraguan, tetapi penolakan. Kita dapat melihat sebuah ilustrasi tentang hal ini dengan meneliti sebuah kejadian dalam kehidupan Yesus. Dalam Yohanes 5:1-47 kita membaca bahwa Yesus menyembuhkan seseorang pada hari Sabat. Ketika orang-orang Farisi mendengar hal ini, mereka marah dan "berusaha menganiaya Yesus" (ayat Yohanes 5:16). Situasi menjadi semakin gawat ketika Yesus memanggil Allah sebagai "BapaKu," yang dianggap oleh orang-orang Farisi sebagai suatu pernyataan kesetaraan dengan Allah. Menghadapi para pejabat (rohani) yang marah itu, Yesus memberi berbagai alasan mengapa mereka seharusnya percaya bahwa Dia adalah Allah.

Namun mereka tidak mau percaya. Dalam penolakan mereka untuk percaya, kita melihat suatu pola yang terulang pada setiap orang yang menolak untuk percaya bahwa Allah Ada. Inilah yang dikatakan Yesus tentang ketidakmauan mereka untuk percaya walaupun bukti-bukti telah jelas:

  • "Kamu tidak mau datang kepadaKu... (Yohanes 5:40).
  • "Kamu tidak menerim Aku" (Yohanes 5:43).
  • "Kamu tidak percaya..." (Yohanes 5:47).

Inti dari ketidakpercayaan, demikian kata Yesus, adalah penolakan. Hal ini bukan masalah pengetahuan atau bukti -- kaum Farisi memiliki pengetahuan dan bukti dalam jumlah banyak. Ini masalah kemauan. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri dan mendengar dengan telinga sendiri perbuatan-perbuatan ajaib Yesus. Mereka mengetahui nubuatan-nubuatan Perjanjian Lama tentang Mesias, namun mereka mengeraskan hati untuk menyangkal keilahian Yesus.

Demikian juga halnya dengan banyak orang yang menolak untuk percaya pada Allah. Dengan sadar dan kemauan sendiri mereka menolak bukti-bukti yang meyakinkan. Mereka menjadi pemberontak terhadap apa yang mereka ketahui dan lihat sendiri.

Perhatikan perkataan Rasul Yohanes tentang mereka yang memilih untuk tidak percaya:

Siapakah pendusta itu? Bukankah dia yang menyangkal bahwa Yesus adalah Kristus? Dia itu adalah antikristus, yaitu dia yang menyangkal baik Bapa maupun Anak (1Yoh 2:22).

Kata-kata tersebut cukup keras. Namun dengan jelas kata-kata itu menggambarkan masalah mereka yang dengan kemauan mereka sendiri menentukan bahwa keempat pernyataan Allah tentang diriNya tidaklah cukup untuk meyakinkan keberadaanNya.