You are hereArtikel / Apa Peranan Gereja dalam Pendidikan?
Apa Peranan Gereja dalam Pendidikan?
Mengingat pendidikan adalah 'concern' (perhatian) Tuhan Allah dalam menyelenggarakan rencana-Nya yang besar bagi dunia, maka tidaklah menjadi suatu yang mengherankan bahwasanya setiap orang percaya haruslah terlibat di dalamnya. Hal ini memungkinkan bahwa setiap orang percaya adalah komponen penting dalam rencana agung Tuhan Allah. Itulah sebabnya, ketika kata "pendidikan" dikumandangkan, maka yang terlibat di dalamnya seharusnya bukan hanya guru dan murid, melainkan seluruh orang percaya di muka bumi. Tugas pengajaran tidak hanya dibebankan pada pundak guru, hal ini adalah tugas setiap orang percaya sebagai pendidik, termasuk juga tugas utama orangtua. Semuanya menjadi jelas dalam firman Tuhan terutama di Ulangan 6:4-9, di mana Tuhan Allah menyatakan tugas pendidikan pada orangtua. Dengan situasi dewasa ini, di mana orangtua lebih banyak memusatkan perhatian pada bidang ekonomi semata, lebih menambah terpuruknya kondisi pendidikan. Mengangkat bagian tersebut pada buku "Foundation and Philosophy of Christian School Education" (2008), setidaknya membuka wawasan para orangtua dalam tugas utamanya, yaitu mendidik anak-anaknya. Sementara itu, tugas guru adalah juga mitra kerja orangtua dalam mendidik anak-anak. Sinergi yang tercipta ini diharapkan dapat menyehatkan sistem pendidikan yang telah terpuruk. Hal tersebut bukanlah tugas yang ringan. Tuhan sebagai Sang Pemberi Visi selalu bersama, menyertai, menguatkan, serta memampukan para pendidik. Pendidik adalah alat-Nya dalam Rencana Agung-Nya demi Kemuliaan-Nya.
Harold Klassen dalam kumpulan artikelnya yang berjudul "Foundation and Philosophy of Christian School Education" (2008) mengatakan bahwa: Bagaimanapun, lebih penting daripada contoh-contoh dari orang lain adalah perintah Kristus. Dia menginvestasikan tiga tahun pelayanan aktif-Nya pada sekelompok manusia yang meragukan, dan kata-kata akhir-Nya adalah agar mereka mengulangi proses tersebut (Yohanes 20:21). Dalam Amanat Agung (Matius 28:18-20), Yesus memberi tahu murid-murid-Nya untuk pergi dan menjadikan orang lain murid-Nya, bukan menjadikan mereka berpindah agama. Kita banyak membicarakan tentang penginjilan, tetapi Yesus mengasumsikannya, dan bicara mengenai mengajar. Kita harus mengajarkan segala hal yang diperintahkan Kristus, tetapi tidak terbatas hanya pada perkataan Yesus. Jika kita percaya bahwa Yesus adalah pencipta segala sesuatu (Kolose 1:15-16), perintah-Nya untuk bertanggung jawab kepada seluruh dunia dan isinya (Kejadian 1:28-30) juga perlu dijadikan. Jadi, mengajar bukan hanya memindahkan pengetahuan semata, tetapi menghadirkan Tuhan Allah dalam setiap pengajaran yang dilakukan. Dunia pendidikan adalah dunia mempelajari dan menggeluti segala yang diciptakan Tuhan Allah. Hal tersebut memanglah pemikiran yang radikal, dan memang harus disadari bahwasanya Alkitab mengatakan sesuatu tentang segala hal.
Sering kali, kita memandang penting mengomunikasikan Yesus sebagai Juru Selamat dalam konteks "spiritual" dan kita menganggap hal itu tidak lagi relevan ketika kita berhubungan dengan hal-hal yang tidak langsung bersentuhan dengan Alkitab. Hal ini tentu menyulitkan banyak orang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat karena Dia tidak ada hubungannya dengan sebagian besar kehidupan kita, yaitu dunia fisik ini. Dengan mengajarkan segala hal yang tidak alkitabiah kepada siapa pun dan mengabaikan kesempatan untuk membentuk persepsi seseorang tentang dunia Allah di sekolah, pemikiran dualisme sedang dikembangkan. Ini berarti hidup kekristenan itu seperti balon spiritual. Pada awalnya kecil, tetapi karena diisi terus oleh Roh Kudus melalui pemimpin Kristen dan renungan pribadi, ia akan terus mengisi hidup, tetapi tetap terpisah dari segala hal yang lain, kecuali keadaan menusuk dan membuat balon itu meletus. Lalu, semuanya akan meletus dan orang tersebut tidak memiliki apa-apa lagi. Jemaat yang dirintis di antara orang yang memiliki perspektif yang suci/sekuler jelas lebih lemah daripada mereka yang dibangun di antara orang yang diajar untuk memiliki pemikiran yang lebih lengkap dan terintegrasi. Mereka memahami bahwa Alkitab perlu menembus semua bidang seperti oksigen -- elemen penting yang adalah bagian dari atmosfer dan segala hal.
Pendeta muda membutuhkan pelatihan seminari supaya mereka dapat memaksimalkan dampak renungan yang dapat mereka bawakan untuk menarik anak muda, sementara seorang guru bahkan tidak melakukan pendalaman Alkitab secara khusus untuk menolong mereka bertahan dalam tuntutan sistem di mana mereka bekerja dan bertahan dalam kebutuhan bagi para murid. Misionaris membutuhkan gelar lebih lanjut dan pelatihan khusus dalam komunikasi lintas budaya supaya mereka dapat mengabarkan Injil dengan efektif. Namun, guru Kristen di sekolah non-Kristen tidak memiliki pelatihan khusus untuk menolong mereka mengomunikasikan kebenaran. Budaya dan bahasa sekolah sering kali sangat berbeda dari apa yang dialami di gereja lokal. Lingkungan paling tidak sama sulitnya dengan kesulitan yang dihadapi kebanyakan misionaris. Di manakah misiologis ruang kelas diajarkan? Itulah sebabnya, pendidikan sangat penting sebagai ujung tombak misi penginjilan. Hal ini berarti bahwa kedudukan pendidikan adalah sebagai perpanjangan tangan gereja dalam mengemban misi penginjilan, apalagi mengingat terbatasnya ruang gerak gereja secara riil. Pendidikan bukan kegiatan tanpa arti. Pendidikan Kristen memiliki jangkauan yang lebih luas dalam lapisan masyarakat yang heterogen seperti di Indonesia ini. Gerakan penginjilan akan menjadi efektif melalui pendidikan. Bahkan, melalui pendidikan, beberapa hal yang tak dapat diperbuat gereja justru dapat dilakukannya. Pengefektifan 'follow up' (tindak lanjut) dan pembinaan dalam suatu pendidikan menjadi alat strategis gereja dalam pemuridan juga. Jadi, sudah selayaknyalah, gereja mendukung keberadaan suatu lembaga pendidikan Kristen, setidaknya bidang pendidikan haruslah menjadi bagian sentral dalam pembinaan jemaat maupun pelipatgandaan.
Alasan utama begitu cepat kita meninggalkan peran kita di pendidikan adalah karena kita telah melihat pendidikan sebagai alat, bukan bagian integral dari misi kekristenan. Banyak asumsi bahwa pemerintah non-Kristen dapat mengajar murid-murid membaca, lalu tanggung jawab gereja adalah menolong anak-anak untuk membaca materi yang benar, yaitu Alkitab. Hal ini adalah pandangan yang terlalu terbatas dalam praktik dan potensi pendidikan. Sekolah tidak sekadar menjadi alat yang netral bagi para murid. Sekolah adalah tempat di mana para guru dan murid menghabiskan porsi besar hidup mereka bekerja bersama dengan tujuan khusus menyiapkan murid bagi kehidupan. Pada hakikatnya, pendidikan yang bersifat mengubahkan manusia menjadi sebagaimana yang telah dirancangkan Tuhan Allah sejak dari semula memerlukan perubahan secara mendasar. Memang bermula dari orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan tersebut, baru kemudian meningkat ke hal-hal yang lainnya. Manusia sebagai penggerak pendidikan memang menjadi target utama, sebab pendidikan bukan sekadar membangun perubahan 'knowledge' (pengetahuan), tetapi juga 'understanding' (pengertian), dan selanjutnya 'wisdom' (kebijaksanaan). Yesus mengetahui bahwa murid tidak begitu saja mendapatkan keahlian atau pengetahuan. Yesus mengatakan bahwa murid akan menjadi seperti guru mereka (Lukas 6:40).
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Serba-Serbi GIA Jemursari |
Alamat URL | : | http://serbaserbigiajemursarisby.blogspot.co.id/2008/10/apa-peranan-gereja-dalam-pendidikan.html |
Judul artikel | : | Apa Peranan Gereja Dalam Pendidikan? |
Penulis artikel | : | Anna Mariana Poedji Christanti |
Tanggal akses | : | 19 Mei 2016 |
- Login to post comments
- 23953 reads