You are hereAlkitab yang Bungkam dalam Bahasa Nusantara (Indonesia, abad 17 dan 18)
Alkitab yang Bungkam dalam Bahasa Nusantara (Indonesia, abad 17 dan 18)
Berabad-abad lamanya, Alkitab merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di seluruh dunia.
Ada tiga alasan yang menjadi penghalang sehingga isi Firman Allah itu umumnya tidak dikenal oleh orang-orang biasa.
Mula-mula, pada zaman dahulu hanya ada satu cara untuk memperbanyak salinan-salinan Alkitab: dengan tulisan tangan. Jadi, salinan-salinan Alkitab itu sangat langka dan sangat mahal harganya.
Juga, kebanyakan pemimpin umat Kristen pada zaman dahulu berpendapat bahwa jika orang-orang biasa diizinkan membaca Alkitab sendiri, pasti akan timbul banyak tafsiran yang salah. Jadi (menurut pikiran mereka), lebih baik jika hak istimewa untuk memiliki Alkitab itu dimonopoli saja oleh para rohaniawan.
Alasan ketiga ialah, kebanyakan Alkitab pada zaman dahulu masih ditulis dalam bahasa-bahasa kuno. Jadi, kebanyakan orang tidak dapat membacanya, pun tidak dapat mengerti isinya jika dibacakan oleh orang lain.
Mulai pada abad yang ke-15 dan ke-16, ketiga alasan yang menjadi penghalang itu berturut-turut dihapus.
Pertama-tama, seni cetak ditemukan oleh orang-orang Barat (walau pada hakikatnya orang-orang Timur sudah lebih dahulu menemukannya!). Buku lengkap yang pertama-tama dicetak ialah: Alkitab. Maka salinan-salinan Alkitab menjadi jauh lebih mudah diperoleh.
Kemudian timbul Reformasi Protestan di benua Eropa. Gerakan pembaharuan gereja itu menekankan bahwa tiap orang bertanggung jawab kepada Allah atas keadaan rohaninya. Jadi, belum cukuplah jika ia mendengar tafsiran Alkitab yang diberikan oleh orang lain; ia harus dapat mempunyai Alkitab sendiri, serta harus dapat mengerti isinya.
Tentu saja, untuk dapat mencapai maksud tadi, Alkitab harus diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang biasa dipakai oleh kebanyakan orang. Dan justru itulah yang berlangsung di seluruh dunia, mulai pada abad yang ke-16.
Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di Nusantara. Memang sudah ada orang-orang Kristen di sini: Kaum Kristen Nestorian mulai datang ke kepulauan Indonesia pada abad yang ke-12, dan kaum Kristen Katolik mulai datang pada abad yang ke-14. Tetapi Alkitab-Alkitab yang mereka bawa itu tertulis dalam bahasa-bahasa asing, yang sulit dipahami oleh putra-putri Nusantara.
Ada juga halangan khusus di Nusantara yang mencegah orang mempunyai dan membaca Alkitab, yakni: Orang-orang yang tinggal di berbagai-bagai pulau itu berbicara dalam berbagai-bagai bahasa pula. Jika seorang pelaut pergi berlayar di Nusantara, belum tentu ia dapat bercakap-cakap dengan orang-orang di pulau tempat tujuannya.
Namun ada juga bahasa-bahasa yang umumnya dipakai kalau putra-putri Nusantara pergi ke pasar atau berdagang di pelabuhan. Salah satu bahasa perniagaan itu ialah bahasa Portugis; tetapi yang lebih umum lagi ialah, bahasa Melayu (yang sesungguhnya merupakan nenek moyang bahasa Indonesia).
Anehnya, Alkitab mula-mula diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis, bukan di negeri Portugis sendiri, melainkan di Nusantara!
Pada pertengahan abad yang ke-17, seorang anak laki-laki kecil dibawa dari Portugis ke kota Malaka, di semenanjung Melayu. Ketika ia masih berumur belasan tahun, bocah itu mulai percaya kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya. Dan pada umur yang masih sangat muda, mulailah dia menerjemahkan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa ibunya. Kemudian, tatkala ia pindah dari Malaka ke Jakarta, ia sempat menyelesaikan terjemahannya itu. Ia juga menerjemahkan sebagian besar dari Kitab Perjanjian Lama.
Tetapi lambat laun penjajah bangsa Portugis itu diusir dari seluruh Nusantara oleh penjajah bangsa Belanda. Karena itu makin lama makin sedikit orang yang menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa perdagangan antar pulau. Dan Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di kepalauan Indonesia.
Anehnya, orang-orang yang mula-mula insaf bahwa Firman Allah seharusnya diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu bukannya para pendeta dan penginjil, melainkan para pelaut dan pedagang. Pada permulaan abad yang ke-17, seorang pelaut Belanda bernama Houtman ditangkap dan dipenjarakan oleh suku Aceh yang pada waktu itu terkenal cukup garang. Selama ditahan di Sumatera Utara, orang Belanda itu sempat belajar bahasa Melayu. Setelah dibebaskan, mulai pada tahun 1605 ia menerbitkan beberapa tulisan Kristen yangg sudah diterjemahkannya ke dalam bahasa Melayu.
Sementara itu, seorang pedagang bernama Albert Cornelisz Ruyl berlayar dari Belanda ke Indonesia pada tahun 1600. Ia menyadari bahwa Alkitab perlu dibaca oleh putra-putri Nusantara. Bahkan ia membujuk rekan-rekan sekerjanya sampai mereka rela membayar semua ongkos penerbitan untuk proyek terjemahannya itu. Pada tahun 1612 Ruyl sudah selesai mengalihbahasakan seluruh Kitab Injil Matius ke dalam bahasa Melayu. Tetapi baru tujuh belas tahun kemudian, hasil karyanya itu dicetak.
Dalam bahasa Melayu terjemahan Ruyl, Doa Bapa Kami (dari Matius 6:9-13) berbunyi sebagai berikut:
"Bappa kita, jang adda de surga:
Namma mou jadi bersakti.
Radjat-mu mendatang
kandhatimu menjadi
de bumi seperti de surga
Roti kita derri sa hari-hari membrikan kita sa hari inila.
Makka ber-ampunla pada-kita doosa kita,
seperti kita ber-ampun
akan siapa ber-sala kepada kita.
D'jang-an hentar kita kepada tjobahan,
tetapi lepasken kita dari jang d'jakat."
Hanya sebagian saja dari Alkitab yang sempat diterjemahkan oleh A. C. Ruyl, pedagang Belanda tadi. Lagi pula, bahasa Melayu yang dipakainya itu sangat jelek. Misalnya, ia belum mengerti perbedaan antara "kita" dengan "kami."
Kemudian, pada pertengahan abad yang ke-17, ada seorang pendeta Belanda bernama Daniel Brouwerius yang mulai insaf bahwa Alkitab mmasih merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan putra-putri Nusantara. Ia pindah ke kepulauan Indonesia dan berhasil menerjemahkan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Melayu.
Dalam terjemahan Daniel Bruwerius, yang mula-mula diterbitkan pada tahun 1668, Doa Bapa Kami berbunyi sebagai berikut:
"Bappa cami, jang adda de Surga,
Namma-mou jaddi bersacti.
Radjat-mou datang.
Candati-mou jaddi
bagitou de boumi bagaimana de surga.
Roti cami derri sa hari hari bri hari ini pada cami
Lagi ampon doossa cami,
bagaimana cami ampon
capada orang jang salla pada cami.
Lagi jangan antarrken cami de dalam tsjobahan
hanja lepasken cami derri jang djahat."
Memang Pdt. Brouwerius sudah dapat membedakan "kita" dan "kami." Namun masih banyak kesalahan dalam Perjanjian Baru bahasa Melayu yang diterjemahkannya. Apalagi, seluruh Perjanjian Lama masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di Nusantara.
Tujuh tahun setelah Kitab Perjanjian Baru terjemahan Brouwerius itu diterbitkan, seorang pendeta tentara tiba di Jawa Timur. Siapa namanya? Dr. Melchior Leydekker. Di samping menjadi seorang pendeta, ia juga seorang dokter. Pada tahun 1678, Dr. Leydekker pindah lagi dari jawa Timur ke Jakarta, dan tetap tinggal di ibu kota selama sisa umurnya.
Dr. Leydekker menjadi pandai sekali berkhotbah dalam bahasa Melayu. Jadi, pada tahun 1691 dialah yang ditunjuk untuk mulai menyiapkan suatu terjemahan seluruh Alkitab dalam bahasa yang dapat dipahami di seluruh Nusantara.
Selama sepuluh tahun Dr. Leydekker bekerja dengan tekun. Terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dihasilkannya. Lalu ia terus mulai mengalih-bahasakan Kitab Perjanjian Baru. Sayang, ia tidak sempat menyelesaikan tugas yang mulia itu: Ia meninggal pada tahun 1701, setelah mengerjakan terjemahannya sampai dengan Efesus 6:6.
Kutipan Doa Bapa Kami dari terjemahan bahasa Melayu Dr. Melchior Leydekker di bawah ini telah disusun kembali menurut ejaan yang disempurnakan dan menurut tanda-tanda baca yang modern. Dengan demikian lebih jelaslah persamaannya dengan ayat-ayat yang sama itu dalam terjemahan biasa bahasa Indonesia:
"Bapa kami yang di sorga,
namaMu dipersucilah kiranya
KerajaanMu datanglah.
KehendakMu jadilah,
seperti di dalam sorga, demikianlah di atas bumi.
Roti kami sehari berilah akan kami pada hari ini.
Dan ampunilah pada kami segala salah kami,
seperti lagi kami ini mengampuni
pada orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami kepada percobaan
hanya lepaskanlah kami daripada yang jahat."
Salah seorang rekan Dr. Leydekker almarhum ditunjuk untuk menyelesaikan tugasnya, sehingga pada tahun 1701 itu juga sudah ada Firman Allah yang lengkap dalam bahasa Melayu. Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk putra-putri Nusantara. Mengapa sampai terjadi demikian?
Pada masa Melchior Leydekker masih menjadi seorang mahasiswa kedokteran dan kependetaan di Belanda, lahirlah di negeri itu seorang anak laki-laki dalam keluarga seorang pembantu kepala sekolah. Anak laki-laki itu lahir pada tahun 1965 dan diberi nama Francois Valentyn. Rupa-rupanya ia seorang pemuda yang pandai, karena ia baru mencapai umur 20 tahun ketika ia diizinkan meninggalkan kuliah teologinya serta pergi ke Maluku sebagai seorang pendeta. Rupa-rupanya ia juga cepat mahir dalam bahasa Melayu: Menurut kesaksiannya sendiri, ia sudah sanggup berkhotbah dalam bahasa setempat setelah belajar hanya tiga bulan lamanya.
Pada suatu hari, kebetulan seorang pendeta tua datang ke Ambon dan menginap di tempat tinggal pendeta yang masih muda tadi. Sang pendeta tua membawa serta sebuah naskah besar. "Warisan," katanya. "Naskah ini dulu ditulis oleh seorang pendeta yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kemudian sang janda memberikan naskah ini kepadaku.
Secara tidak terduga pendeta tua itu meninggal pada waktu ia bertemu di rumah pastori di Ambon. Maka Naskah kuno itu jatuh ke dalam tangan Pdt. Francois Valentyn. Ketika diperiksa, ternyata tulisan tangan itu adalah terjemahan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu!
Pdt. Valentyn adalah seorang yang rajin. Ia rajin menyelidiki bahasa dan kebudayaan orang Maluku. Dan ia pun rajin mencari teman-teman baru di tempat pelayanannya. Salah seorang teman barunya itu adalah seorang janda kaya. Setelah menikah dengan janda itu, Pdt. Valentyn kembali ke tanah airnya pada tahun 1695. Naskah kuno itu pun dibawa ke Belanda.
Kemudian, pada permulaan abad yang ke-18 diumumkan bahwa Dr. Melchior Leydekker almarhum (dengan bantuan salah seorang rekannya) telah berhasil menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu.
Mungkinkah Pdt. Francois Valentyn menjadi iri hati? Mungkinkah ia berkeinginan supaya dia saja yang dihormati (dan bukan orang-orang yang sudah meninggal) sebagai penerjemah yang pertama-tama menghasilkan seluruh Firman Allah dalam bahasa Nusantara?
Bagaimanapun juga, Pdt. Valentyn mulai mempromosikan dirinya sebagai penerjemah naskah kuno seluruh Alkitab itu (yang hanya kebetulan saja ada di dalam tangannya). Katanya, terjemahan itu juga lebih baik, jauh lebih modern, bahkan jauh lebuh mudah dipahami terjemahan Dr. Leydekker.
Tentu saja umat Kristen menjadi bingung. Baik di Belanda maupun kepulauan Indonesia, ada orang-orang yang lebih setuju dengan terjemahan Valentyn, tetapi ada juga orang-orang yang lebih setuju dengan terjemahan Leydekker. Akibatnya, kedua terjemahan itu tidak jadi diterbitkan. Dan sekali lagi, selama berpuluh-puluh tahun, Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan putra-putri Nusantara.
Akhirnya duduk perkaranya terungkap dengan jelas. "Terjemahan Valentyn" itu diselidiki dan dinyatakan sebagai hasil karya orang lain. Lagi pula, terjemahan itu dinilai sangat jelek.
Akan tetapi sementara perselisihan pendapat itu masih berlangsung, sudah lewat juga dua puluh tahun lebih. Ada orang-orang yang merasa bahwa terjemahan Leydekker tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Maka pada tahun 1723 sebuah panitia ditunjuk untuk menyunting kembali naskah terjemahannya itu. Selama enam tahun mereka mengerjakan edisinya yang baru.
Menjelang tahun 1729, naskah terjemahan baru dari Alkitab lengkap itu dua kali disalin dengan tulisan tangan: sekali dalam huruf Latin, dan sekali lagi dalam huruf Arab. Kedua naskah itu masing-masing dikirim ke Belanda dalam dua kapal yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa walau satu naskah jadi hilang di dasar laut, namun naskah yang satunya lagi itu masih akan tiba dengan selamat. Salah seorang penyuntingnya juga berlayar ke tanah airnya, untuk mengawasi proyek penerbitan yang besar itu.
Kitab Perjanjian Baru terjemahan Leydekker keluar pada tahun 1731. Lalu Alkitab lengkap terjemahan Leydekker diterbitkan pada tahun 1733. Maka akhirnya juga Firman Allah tidak lagi bungkam dalam bahasa Nusantara!
TAMAT
- Printer-friendly version
- Login to post comments
- 7046 reads