You are heree-JEMMi No. 03 Vol.22/2017 / Suku Limbai

Suku Limbai


Orang Limbai adalah salah satu kelompok orang Dayak yang berdiam di Provinsi Kalimantan Barat. Pemukiman mereka terletak di aliran Sungai Ella, salah satu anak Sungai Melawi yang termasuk wilayah Kabupaten Sintang. Di kabupaten ini, mereka tinggal di Kecamatan Kayan Hulu, Kecamatan Ella Ilir, Kecamatan Menukung.


Sejarah Suku Limbai

Orang Limbai dapat dibagi menjadi empat subkelompok, yakni Limbai Kelait, Limbai Pantai, Limbai Darat, dan Limbai Api. Pada tahun 1990, orang Limbai Kelait berjumlah 1.098 jiwa. Sebagian dari mereka, ada yang masih tinggal di rumah panjang (betang), tetapi sebagian besar sudah berdiam di rumah-rumah tunggal, seperti yang tampak di dusun-dusun Nanga Landau Mumbung, Nanga Apak, Nanga Siyai, dan Belaban Ela. Konon, dahulu, mereka berasal dari kawasan lain di luar dusun-dusun yang mereka tempati sekarang.

Kesatuan sosial yang terkecil disebut "lawang", yang bisa merupakan keluarga batih (perindu) atau keluarga luas tiga generasi (dua perindu atau dua periuk) atau keluarga luas empat generasi (tiga perindu atau tiga periuk). Satu keluarga batih terdiri dari ayah (apa'), ibu (uma'), dan anak-anak mereka yang belum kawin. Dalam aktivitas ekonomi, keluarga batih atau keluarga luas merupakan satu kesatuan produksi, artinya orang dewasa dan anak-anak yang sudah 15 tahun ke atas bekerja bersama-sama di ladang, kebun milik keluarga itu, dan juga kegiatan berburu. Namun, dalam kegiatan tertentu, mereka mungkin memerlukan tenaga tambahan dari luar, maka mereka mengadakan kerja sama secara timbal balik (behar hari) dengan keluarga lain dengan memperhitungkan tenaga dan jumlah hari secara ketat. Pada kerja sama semacam ini, pihak tuan rumah menanggung makan siang. Selain itu, kini berkembang pula sistem upah yang dilakukan oleh keluarga yang berpunya atau karena seseorang harus membayar utangnya dengan tenaga.


Dalam sistem kekerabatan, mereka menganut prinsip bilineal atau kognatif, artinya menarik garis keturunan dari pihak ayah dan pihak ibu, meskipun pihak ayah lebih kuat daripada pihak ibu. Sebagai contoh, perkawinan antara sepupu tingkat pertama (sana tua) diperkenankan sepanjang keduanya dari pihak ibu, sebaliknya akan dilarang (mali) bila keduanya masing-masing dari pihak ayah dan ibu, atau keduanya dari pihak ayah. Prinsip pewarisan jatuh pada anak bungsu (bungsu) laki-laki ataupun perempuan (ultimogeniture). Jika seseorang meninggalkan keluarga asalnya karena kawin, ia tidak lagi memiliki hak atas sejumlah harta pusaka, berupa gong, tempayan kuno, kebun, babi, atau sapi.

Mata pencarian utama mereka adalah berladang, dengan padi sebagai tanaman pokok. Selain itu, mereka juga menanam jagung, ubi kayu, ubi jalar, sayur-mayur, pisang, dan lainnya. Selain itu, mereka juga sudah mulai membudidayakan karet, kopi, tengkawang, cengkeh. Pada masa yang lebih akhir (1980-an), banyak anak muda, misalnya dari Dusun Siyai, yang menjadi buruh di perusahaan kayu atau mencari gaharu di hutan yang jauh dari lokasi pemukiman mereka, dan memakan waktu berhari-hari untuk mengisi kebutuhan sehari-hari. Hal ini terjadi karena mereka tidak banyak memiliki kebun karet, meluasnya padang alang-alang, dan semakin sempitnya lahan untuk berladang karena masuknya tiga perusahaan kayu ke wilayah pemukiman mereka.

Diambil dari:
Nama situs : Suku Dunia
Alamat situs : http://suku-dunia.blogspot.co.id/2016/06/sejarah-suku-limbai.html
Judul asli artikel : Sejarah Suku Limbai
Penulis artikel : M. Junus Melalatoa
Tanggal akses : 30 Juni 2016